Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
TAHUN ini umat kristiani merayakan Natal dengan perasaan waswas. Pembubaran paksa perayaan Natal di Bandung, beberapa serangan teroris, juga terhadap gedung gereja, suatu eksplosi emosi-emosi dan naluri primordial menciptakan suasana kegembiraan Natal biasa sulit muncul.
Pada permulaan tahun sudah terjadi kekerasan amat memalukan di Mempawah, Kalimantan Barat. Ada suatu komunitas, terdiri atas sekitar 1.500 orang yang dengan damai dan tanpa mengganggu siapa pun hidup dari bertani secara ramah lingkungan, dipersatukan oleh spiritualitas religius. Mendadak 5.000 orang, dengan mata penuh nafsu bunuh, menyerang, merampas, serta membakar seluruh hak milik mereka seperti alat-alat dapur, perkakas rumah, sepeda motor dan rumah. Kebiadaban seperti itu bisa terjadi di negara Pancasila tanpa ada seorang pun yang diminta pertanggungjawabannya.
Sudah lama pelbagai tindak intoleransi berlangsung dalam masyarakat, dengan aparat membiarkan atau bahkan memfasilitasinya. Dengan hasutan penuh kebencian mudah ada massa bisa digerakkan. Sadarkah kita bahwa dengan cara itu kita membiarkan di hati orang muda kita ditanamkan biji-biji kebencian, kecurigaan, kepicikan? Bahwa dengan menonjolkan kelompok kita secara eksklusif, kita mencekik sikap-sikap hati terluhur yang ditanamkan Tuhan di dalam hati mereka, seperti kebesaran hati, mudah memaafkan, bersedia mencari kesalahan pada diri sendiri daripada pada orang lain, adil, fair, murah hati, penuh kerahiman? Relakah kita membiarkan agama, menjadi rahmat bagi semua, dimanfaatkan menjadi sumber kebencian, kekasaran, kekerasan dan arogansi?
Identity politics
Yang kita alami di Indonesia ini menjadi tren di seluruh dunia. Orang bicara tentang identity politics. Politik identitas menolak persaudaraan dan solidaritas dengan mereka yang berbeda.
Ia hidup dari perasaan bahwa 'kami selalu menjadi kurban' dan 'sekarang sudah waktunya untuk menghancurkan mereka'. Daripada membangun solidaritas politik identitas menumbuhkan eksklusivitas. Untuk meninggikan diri mereka yang berbeda harus direndahkan.
Politik identitas sedang pasang. Di Myanmar, sejuta warga tidak mau diakui sebagai warga negara karena mereka secara ras dan agama berbeda, apakah di Eropa para pengungsi ditolak karena 'tak cocok dengan budaya kami', apakah itu islamofobia kasar yang dapat ditemukan di Prancis, Belanda, Jerman, dan lain negara. Selalu yang berbeda dianggap ancaman, sering kali sama sekali tanpa alasan.
Dengan kemenangan pemilihan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat, kekasaran politik identitas seakan-akan mendapat status resmi: kebencian terhadap orang-orang negro, pendatang muslim, imigran Hispaniola, bahkan LGBT diperlihatkan tanpa malu.
Indonesia merupakan negara paling majemuk di dunia. Ada ratusan etnik, budaya, dan bahasa, semua agama, dan masing-masing dengan pelbagai orientasi, tersebar atas ribuan pulau. Ada orang asing bilang, Indonesia adalah the improbable nation. Sepertinya tidak masuk akal kemajemukan itu bisa betul-betul bersatu, bersatu hati. Akan tetapi, ternyata hampir seluruh bangsa Indonesia, meski begitu berbeda ciri-ciri mereka, merasa bangga bahwa mereka orang Indonesia.
Ada peristiwa teramat penting dalam sejarah Indonesia, yang terjadi pada 1928. Tanpa desakan dari mana pun, tanpa adanya sponsor, ratusan pemuda dari seluruh wilayah datang ke Jakarta, waktu itu masih Batavia, untuk bersumpah menjadi 'satu tanah, satu bangsa, dengan satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia'.
Jadi 17 tahun sebelum lahir Indonesia merdeka, kebangsaan Indonesia sudah menjadi kenyataan. Indonesia beruntung karena kebangkitan agama menjadi bagian dari kebangkitan bangsa. Karena itu, antara keindonesiaan dan agama masing-masing tak ada pertentangan. Karena bersatu dalam memperjuangkan Indonesia merdeka, orang dari agama-agama berbeda bisa bersatu, dan juga bisa saling menerima, bahkan saling menghargai.
Namun, agar suatu kemajemukan dapat kukuh bersatu, satu syarat mutlak harus dipenuhi: semua harus bersedia untuk saling menerima dan saling menghormati dalam kekhasannya. Itulah yang terjadi dalam Pancasila. Dalam Pancasila bangsa Indonesia menyatakan diri bangsa dan negara yang berketuhanan, yang religius, ketika tak ada komunitas yang karena orientasi keagamaanya akan dikucilkan. Karena itu, orang Jawa yang masuk Indonesia tetap orang Jawa dan orang Bugis tetap orang Bugis, orang Islam utuh keislamannya dengan masuk Indonesia seperti orang Katolik utuh kekatolikannya.
Ancaman persatuan
Kalau kuman politik identitas meluas, komitmen yang mendasari persatuan Indonesia akan terancam. Begitu identitasku menjadi satu-satunya perhatianku, semua yang berbeda dipandang sebagai ancaman.
Politik identitas cenderung terus memecahbelahkan persatuan bangsa. Mereka yang berbeda akan dianggap tidak boleh ada di Indonesia. Semakin politik identitas meluas, intoleransi akan bertambah. Akhirnya semua yang tidak taat pada kediktatoran baru itu akan disingkirkan. Akhir politik identitas ialah disinteg-rasi bangsa dan negara.
Yang pertama mau disapu bersih ialah mereka yang dalam agamanya sendiri mengikuti jalan yang berbeda. Di Indonesia intoleransi terhadap komunitas-komunitas yang oleh mayoritas agama mereka dicap 'tidak benar' sejak lebih dari 10 tahun semakin menjadi-jadi, bahkan ada yang dianiaya, eksistensi mereka ditolak. Penganut dari apa yang dicap 'aliran sesat' di negara kita betul-betul dalam bahaya dan negara menolak memberikan perlindungan kepada mereka. Tidak begitu berbeda dengan keadaan di Myanmar, negara tidak memberikan perlindungan terhadap minoritas Rohingnya. Gawat itu!
Yang kedua ialah mereka yang menganut agama, yang, meskipun diakui dalam undang-undang dan keamanan kedudukan mereka dilindungi negara, menjadi korban tindak intoleransi yang dari tahun ke tahun bertambah. Orang bisa bertanya atas dasar apa suatu massa beringas memaksakan pembubaran perayaan Natal umat yang memang merayakannya?
Para fanatik akan menyangkal bahwa mainstream umat yang memang 'normal', baik-baik, yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan biasa tapi tidak fanatik masih beragama. Jadi, akhirnya umat biasa dari aliran agama yang sama dikafirkan lantas ditindas juga.
Jelas juga semakin eksklusivitas identitas sendiri me-luas, semakin tidak lagi akan diterima bahwa Indonesia adalah milik kita semua. Dengan demikian, konsensus dasar yang diletakkan dalam Pancasila, konsensus bahwa Indonesia adalah milik semua warga Indonesia dari aliran agama mana pun, yang mendasari kesediaan untuk bersatu dalam satu negara, sudah terkhianati.
Kalau kita tidak lagi bersedia untuk saling menerima dalam identitas masing-masing, kalau kita mau memaksakan identitas kita kepada semua yang berbeda, kita akan berakhir dalam anarkisme, kebencian, dan perang saudara berdarah, sebagaimana kita melihatnya dalam sekian banyak negara.
Ada harapan
Kita tidak boleh menyerah! Mayoritas bangsa Indonesia tetap rindu akan persaudaraan di antara kita semua, dan ingin hidup bersama dalam damai. Mainstream agama-agama besar meyakini Pancasila dan merasa diutus Allah untuk menyebarkan rahmat dan damai-Nya kepada semua.
Apabila kita melawan arus destruktif kepicikan dan fanatisme, apabila kita bertekad untuk menjunjung tinggi konsensus Pancasila, kita akan menjadi bangsa yang kuat dan mantap. Bersama-sama kita akan membangun Indonesia yang percaya diri, berhadapan dengan segala tantangan. Kita akan merasa aman di antara kita semua, tanpa merasa terancam dalam identitas kita masing-masing. Intervensi asing tidak akan menemukan tempat untuk berpijak. Bahwa misalnya pada malam Natal dan Paskah pemuda-pemuda NU menjaga banyak gereja membuktikan semangat persaudaraan. Sebagian besar umat beragama sadar bahwa keanekaan agama dan aliran agama di dunia tidak lepas dari tangan Tuhan, Pencipta kita.
Oleh karena itu, tak ada alasan untuk tidak bergembira merayakan Natal. Ancaman yang memang selalu ada tidak perlu dilebih-lebihkan. Kehendak baik dan tekad bersama masih jauh lebih kuat daripada pelbagai kebencian. Kita punya banyak alasan untuk berterima kasih dan merayakan Natal dengan gembira. (X-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved