Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
JAKSA Penuntut Umum (JPU), Selasa (20/12), membacakan jawaban atas nota keberatan (eksepsi) terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama. JPU menjawab poin per poin atas apa yang disampaikan Ahok pada sidang perdana, Selasa (13/12).
Pertama, Jaksa menyoroti keberatan Ahok yang menyebut dirinya tidak bermaksud menafsirkan surat Al-Maidah 51, apalagi menistakan agama dan menghina ulama.
Menurut perwakilan JPU, menilai ada atau tidaknya niat terdakwa tidak cukup hanya dari statement.
"Harus ada rangkaian keterhubungan dan latar belakang peristiwa," kata JPU di PN Jakarta Pusat, Selasa (20/12).
Meski kunjungan tidak memiliki hubungan dengan Pilgub DKI, Ahok yang datang sebagai gubernur DKI itu sudah terdaftar sebagai calon gubernur periode berikutnya.
Pernyataan Ahok yang setidaknya menyebut 'jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah 51' tidak bisa dipisahkan dengan keikutsertaan dalam Pilkada.
"Bagian unsur kesengajaan akan dibuktikan dalam pembuktian," ucap dia.
JPU juga berpendapat pada poin kedua ketika Ahok dalam eksepsi menyebut sebagai pejabat publik ia sangat peduli dengan Islam. Kebijakannya pun diklaim bersentuhan dengan.
"Sepanjang kebijakan gubernur dalam penggunaan APBD, adalah wajar dan biasa dilakukan pejabat karena sudah kewajibannya melayani masyarakat. Ini tidak bisa dijadikan dasar terdakwa tidak menistakan agama. Keberatan ini sudah masuk dalam materi perkara dan akan dibuktikan," jelas dia.
Pandangan terhadap Al-Maidah 51 dan pengalaman Ahok pun mendapat jawaban tegas.
Menurut Ahok, ia memang selalu mengutip ayat tersebut karena selalu menemukan hal serupa. Ahok dalam eksepsi tegas menolak disebut menista agama.
JPU menegaskan, ucapan Ahok yang mengatakan ia menunjuk politikus yang kerap menggunakan ayat tersebut pun tidak bisa dijadikan keberatan. Apalagi, Ahok menyebut surat itu digunakan memecah belah rakyat demi memuluskan jalan politikus memenangkan Pilkada.
Ahok memang menyebut ayat itu sengaja digunakan politikus yang tidak bisa bertarung visi misi. Itu merupakan kutipan buku yang pernah ditulis Ahok.
Menurut JPU, isi buku tersbeut justru menimbulkan perpecahan bangsa, khususnya Islam.
"Malah menimbulkan kasus baru. Jangankan terdakwa, siapa pun tidak boleh menempatkan Al Maidah 51 dan kitab suci Islam, tidak pada tempatnya. Seolah ayat itu digunakan memecah belah rakyat ketika digunakan dalam Pilkada. Terdakwa menempatkan diri sebagai orang paling benar dengan meminta kandidat lain adu program. Ketika tidak sepaham, termasuk menggunakan Al Maidah 51, dikatakan pengecut," terang JPU.
Seharusnya, kata dia, Ahok mengembalikan kepada koridor UU yang berlaku. Hal itu berlaku untuk semua, termasuk ketika masing-masing kandidat menggunakan metode berbeda dengan Ahok.
Selain itu, JPU tak bisa memberi pendapat atas eksepsi Ahok soal penjabaran soal penggunaan dan penggambaran Al-Maidah 51 terkait masa Nabi Muhammad.
"Keberatan itu, kami tidak bisa memberi pendapat karena sumber tidak terverifikasi karena jawaban berasal dari penjelasan teman-teman terdakwa," ucap JPU. (MTVN/OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved