Benahi Pola Komunikasi dengan Rakyat

MI
17/12/2016 08:39
Benahi Pola Komunikasi dengan Rakyat
(Antara/M Agung Rajasa)

BERBAGAI peristiwa politik telah mewarnai perjalanan 2016. Di antaranya yang menonjol ialah seputar konsolidasi politik yang kembali berada dalam tekanan serta menguatnya politik identitas jelang pilkada serentak.

Dinamika politik itu tentu tidak berjalan sendirian, tapi saling terkait dengan bidang lain, termasuk hukum dan komunikasi. Rentetan peristiwa itu mestinya menjadi pelecut bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk memperbaiki pola komunikasi dengan semua kalangan.

Menurut Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, adanya demonstrasi besar pada 411 dan 212 mencerminkan adanya masalah dalam pola komunikasi Presiden kepada berbagai pemangku kepentingan. Dia melihat selama ini Jokowi hanya menyentuh lembaga-lembaga formal. Kelompok-kelompok yang bukan arus utama, seperti ormas, belum tersentuh.

Di sisi lain, kelompok yang selama ini kritis, seperti aktivis antikorupsi dan HAM, sudah banyak menjadi bagian dari pemerintah. Hal itu membuat kelompok informal yang melihat ada ketidakadilan berusaha untuk bergerak, seperti dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

"Lemahnya kelompok kritis dan tidak tersalurkannya aspirasi kelompok kepentingan memunculkan adanya mobilisasi massa pada 411 dan 212. Konsolidasi politik selama dua tahun pun (mengalami) setback karena demo itu," jelas Ari dalam diskusi dan refleksi politik akhir tahun 2016 bertajuk Menggiring Angin, di Jakarta, kemarin.

Kepala Departemen Media dan Komunikasi Strategis PARA Syndicate, Bekti Waluyo, melihat ada jurang wacana yang dibangun antara elite politik dan akar rumput. Hal itu dibuktikan dalam isu dugaan penistaan agama oleh Basuki. "Di saat elite politik cenderung diredam, situasi yang berbeda terjadi di media sosial yang merupakan cerminan masyarakat umum," paparnya.

Selanjutnya, di bidang hukum, Deputi Direktur PARA Syndicate, Agung Sulistyo, menyebut ada gerak mundur di bidang hukum. Hal itu tampak dalam penanganan sejumlah isu. Di antaranya, revisi UU ITE yang nyatanya belum menjawab persoalan definisi ujaran kebencian serta pembatalan ribuan perda oleh pemerintah pusat tanpa melalui uji materi ke Mahkamah Agung.

Selain itu, kelemahan di bidang hukum tampak dari penyusunan prolegnas yang tidak masuk akal setiap tahunnya. Artinya jumlah perundangan yang direncanakan untuk dibahas tidak sebanding dengan kemampuan. "Besar nafsu tapi tenaga kurang," Agung mengungkapkan. (Kim/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya