RKUHP Terkesan Mengkriminalisasi Warga

16/12/2016 13:14
RKUHP Terkesan Mengkriminalisasi Warga
(MI/M.Irfan)

PEMBAHASAN rancangan KUHP khususnya yang menyangkut kesusilaan terindikasi sebagai upaya perluasan wewenang pemerintah dalam mengontrol perilaku masyarakat. Bahkan regulasi yang dianggap masih prematur itu cenderung sebagai bentuk kriminalisasi di ranah pribadi.

“Dalam pembahasan Rancangan KUHP terutama di Bab XIV tentang kesusilaan ada nuansa pemerintah sedang rajin membuat pasal tindak pidana baru dari sesuatu hal yang tadinya bukan pidana,” ujar peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting saat diskusi Pembahasan RKUHP Bab XIV di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, kemarin.

Dalam diskusi itu hadir peneliti ECPAT Indonesia Rio Hendra, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia Adery Ardhan Saputro, dan Ketua Badan Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju. Seluruh aktivis tersebut tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP.

Miko mengatakan beberapa topik yang sedang dibahas dalam Panja Komisi III itu ialah persoalan pornografi, perkosaan, kontrasepsi, aborsi, dan sejumlah hal terkait kesusilaan lainnya. Dalam realisasinya, ada topik yang sudah disepakati, namun ada pula yang masih ditunda pengesahannya.

Menurutnya rumusan untuk menciptakan pasal-pasal pidana baru dalam RKUHP tidak jelas, dilokalisasi menjadi hal teknis dan subjektif. Ia menegaskan tidak semua tindakan yang dianggap tidak terpuji dapat dijadikan sebuah pelanggaran pidana.

Rio menambahkan pembahasan rancangan KUHP yang justru tidak mencantumkan tentang pasal pidana membeli layanan seks pada anak atau prostitusi anak (pelacuran). Tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan secara rinci definisi korban dan siapa saja pelaku yang dapat dijerat pidana.

“Perdagangan seks anak itu masuk di Pasal 499 dan 500. Definisinya ada dan unsur-unsurnya masuk, tapi untuk prostitusi ini tidak ada menjerat pelaku pembeli seks anak-anak, tapi untuk penjual ada.”

Pasal-pasal di Bab XIV lebih menonjolkan tentang persetubuhan dan pencabulan anak, namun tidak mencantumkan ketentuan tentang prostitusi anak. Bahkan, dalam bab tersebut ada dua pasal yang jelas belum bisa menjangkau definisi tindak pidana prostitusi, yakni pasal 486 dan 496. (Gol/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya