Medsos Diharapkan Ramai dengan Toleransi

Arif Hulwan
10/12/2016 15:50
Medsos Diharapkan Ramai dengan Toleransi
(Ilustrasi)

ALIH-ALIH menangkap dan memblokir penebar intoleransi di media sosial, pemerintah diminta serius menggarap dunia maya dengan jalan persuasif. Tindakan keras hanya akan menurunkan legitimasi negara. Warga pun didorong untuk mengawal lewat parlemen siber.

Pengajar politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, menyebut, medsos membuat suara alternatif menjadi arus utama tanpa menggunakan institusi riil, seperti pemerintah atau DPR. Tak terkecuali suara kebencian dan intoleransi. Di saat saluran itu dibendung, yang muncul ialah perlawanan.

"Bukan diantisipasi dengan cara lama, represi, pemblokiran, tapi dengan cara rasional. Karena kekuatan rezim dipengaruhi dari cara membangun komunikasi dan persuasi. Kalau menggunakan kekerasan justru makin lemah," ujarnya, dalam acara diskusi Perspektif Indonesia bertajuk Politik dan Media Sosial, di Jakarta, Sabtu (10/12).

Pendekatan persuasif yang disarankannya ialah model kampanye pendidikan cara ber-medsos yang ramah. Ini penting lantaran kecenderungan warga dunia maya (netizen) lebih memilih informasi yang sifatnya provokatif atau kontroversial. Faktor kedalaman da verifikasi terabaikan. Maka tak heran jika ujaran kebencian merajalela, sementara hal-hal positif makin terpinggirkan.

"Namun, medsos juga membuat politik inklusi, tidak satu arah. Itu kenapa oligarki politik merasa tidak nyaman lagi. Karena mau tidak mau masyarakat harus dilibatkan akibat medsos. Makanya perlu ada edukasi," imbuh Airlangga.

Ahli Pemasaran Politik Firmanzah menambahkan, perlunya edukasi ini juga terkait faktor sentimen atau emosi yang mengambil berperan krusial dalam membuat suatu isu jadi pusat perhatian atau viral. Artinya, suatu isu, seperti demo 212 (2 Desember), dapat jadi meluas saat isu itu membuat simpatik dan mengeksploitasi perasaan. Dan ini harus dikendalikan.

"Jadi bukan lagi sisi rasional. Siapa yang bisa mengemas isu dari sisi emosional, afektif, perasaan, itu yang berpeluang mendapat perhatian massa besar. Dia bisa mendapat kekuatan politik di digital space," jelas dia, yang juga Rektor Universitas Paramadina itu.

Firmanzah menyebut, gejala semacam ini sudah mendunia. Kemenangan Donald Trump di Pemilihan Presiden Amerika Serikat tidak lepas dari kemampuan para buzzer-nya di medsos untuk menggarap hal-hal kontroversial dan berbau kebencian menjadi viral. Ia masih berharap pada keterbukaan dunia maya yang membuat banyak orang baik tetap dapat mengontrol itu semua lewat parlemen dunia maya.

"Saat ini overload informasi kebencian, caci maki. Bagaimana caranya jadikan wilayah internet ini civilized. Karena masih bermanfaat bagi banyak pihak," cetusnya.

Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Ibnu Hamad menyebut, ‘pengendalian’ internet secara benar itu diperlukan mengingat angka penggunanya yang makin besar. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada Oktober 2016 mengungkap, sudah 132,7 juta penduduk (51,8%) yang mengakses internet. Terbanyak ada di Jawa, sebanyak 80,6 juta orang atau 60%.

"Kabar baik dari segi aksesnya, tapi belum pada kontennya," aku dia.

Jurnalis Senior Uni Zulfiani Lubis mengungkapkan konten dunia maya banyak yang berupa fitnah dan kebencian. Itu tak lepas dari hadirnya para buzzer bayaran yang membuat propaganda negatif. Berita-berita resmi pun diplintir sedemikian rupa hingga menyerupai kebenaran padahal itu menyesatkan.

Airlangga menimpali, pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang baik di internet harus digencarkan. Selain mengimbangi ujaran kebencian dan intoleransi, upaya itu dapat mengontrol pelaksanaan komitmen pemerintah terhadap toleransi dan kemajemukan.

Misalnya, dalam hal implementasi pernyataan Walikota Bandung Ridwan Kamil soal ancaman sanksi bagi ormas yang membubarkan ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, belum lama ini.

"Sehingga tak hanya statement tanpa tindakan konkret dalam mengawal kebebasan di masyarakat," tutupnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya