Presiden Bentuk Tim Penangkal Intoleransi

Rudy Polycarpus
10/12/2016 08:34
Presiden Bentuk Tim Penangkal Intoleransi
(Antara/Yudhi Mahatma)

DALAM rangka peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada hari ini, 10 Desember, Presiden Joko Widodo mengakui HAM masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, di antaranya melindungi kebebasan beragama.

"Saya juga menyadari bahwa baru-baru ini juga masih ada hal yang perlu kita perbaiki dalam menjalankan peran ini," ujarnya ketika menggelar pertemuan dengan pimpinan Komnas HAM di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.

Pernyataan Presiden disampaikan merujuk aksi pembubaran ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani Natal, Selasa (6/12), di Bandung, Jawa Barat.

Selain kebebasan beragama, sambung Jokowi, pemerintah juga masih bekerja keras menyelesaikan sejumlah persoalan di bidang HAM. Presiden mencontohkan penyelesaian kasus HAM masa lalu, konflik agraria, pelanggaran hak masyarakat adat, perdagangan manusia, kejahatan seksual, dan kekerasan kepada anak.

Khusus menyikapi kasus intoleransi, Kepala Negara akan membentuk tim khusus untuk menangkal paham-paham intoleran. Tim yang tengah digodok itu sebagian besar akan diisi oleh elemen-elemen masyarakat, seperti tokoh-tokoh agama dan kelompok-kelompok sipil.

"Akan dibentuk tim khusus semacam task force untuk mengatasi penyebaran-penyebaran ideologi kekerasan, radikalisme, dan fundamentalis. Akan ada upaya sistematis untuk membendung itu selain penegakan hukum," papar Ketua Komnas HAM M Imadadun Rahmat seusai pertemuan.

Pada kesempatan yang sama, Menkum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan tim tersebut juga berperan menyebarkan kembali nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. "Masih panjang pembentukan tim ini, nanti Presiden yang akan menentukan anggotanya," tandasnya.

Di kesempatan terpisah, pegiat HAM menilai pemerintah masih menyampingkan isu tersebut di dalam agenda reformasi hukum di Indonesia. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menyebut pemerintah menumpuk utang penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

"Apakah itu kasus Munir, Trisakti, Semanggi I dan II harus diselesaikan. Semuanya belum terselesaikan dan itu utang yang harus dibayarkan Presiden Jokowi," ujar Todung dalam diskusi di kantor lembaga pegiat HAM Imparsial di Jakarta, kemarin.

Kebal tekanan
Todung juga menyoroti lambannya pemerintah dalam mengantisipasi sumber-sumber antitesis demokrasi dan penegakan HAM. Proses hukum di negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia harus kebal terhadap tekanan.

Negara tidak boleh membiarkan terjadinya endorsement berbagai pihak terhadap munculnya gerakan antidemokrasi dan anti-HAM.

"Seolah-olah mereka yang jadi memonopoli kebenaran dan HAM. Kalau hal seperti itu terus dibiarkan, demokrasi dan HAM yang bakal terancam. Jadi, semua patut dipertanyakan, where are we heading sebagai bangsa?" cetus Todung.

Mantan Komisioner Komnas HAM Mohammad Mutashim Billah ragu pemerintah bisa memenuhi komitmen agenda penegakan HAM. Ia pun menyoroti begitu lembeknya komitmen penegakan HAM lantaran Komnas HAM, lembaga yang menakhodainya, justru terjerat korupsi.

"Tidak mengherankan penegakan HAM dilakukan secara kabur," ujar Mustashim. (Jay/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya