Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
TUJUH anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 atau UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Seluruh anggota KPU itu, yaitu Ida Budhiati, Sigit Pamungkas, Arief Budiman, Hadar Nafis Gumay, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Juri Ardiantoro, dan Hasyim Asyari, kemudian mengatasnamakan KPU dalam permohonan uji materi itu. Adapun Pasal 9 huruf a berisi tentang kewajiban KPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan KPU.
KPU mendalilkan bahwa telah terjadi kerugian akibat berlakunya ketentuan dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada, khususnya sepanjang frasa yang berbunyi 'dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat'.
Ketentuan itu dinilai oleh KPU berpotensi mengancam kemandirian lembaga penyelenggara pemilu itu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, KPU menuntut supaya bisa menjalankan tugasnya dalam menyusun peraturan secara mandiri tanpa perlu melakukan konsultasi.
Hal ini diminta oleh KPU, mengingat lembaga setingkat atau bahkan kementerian yang oleh UU tidak disebutkan memiliki aspek kemandirian, dapat menyusun peraturan tanpa melalui konsultasi.
Dalam persidangan lanjutan, KPU selaku pihak pemohon menghadirkan pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar untuk memberikan keterangannya selaku ahli.
Zainal dalam keterangannnya menilai ketentuan dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada memang berpotensi mengancam kemandirian KPU sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
"Konteks dalam ketentuan ini jika dibaca secara hukum berpotensi mengganggu penyelenggaraan pelaksanaan kewenangan KPU," ujar Zainal, di Gedung MK, Jakarta, Senin (28/11) kemarin.
Ketentuan itu dinilai Zainal telah memberikan kewajiban sangat kuat dan imperatif bahwa peraturan KPU dan aturan teknis lainnya hanya dapat dibuat jika telah melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Selanjutnya, Zainal mengatakan, aturan yang mewajibkan KPU untuk berkonsultasi telah menempatkan KPU sebagai pihak yang hanya dapat menyusun dan menetapkan peraturan KPU setelah melakukan konsultasi. Artinya, jika pihak yang akan dikonsultasikan yaitu DPR menolak adanya konsultasi, pada dasarnya ketentuan teknis dan peraturan KPU tidak dapat dikeluarkan.
"Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penyusunan dan penetapan peraturan yang secara teoretik menjadi milik KPU secara 'self regulatory body' telah beralih ke forum dengar pendapat," tutur Zainal.
Zainal kemudian menambahkan, bila keputusan dalam forum dengar pendapat tersebut bersifat mengikat, apa pun yang diminta oleh DPR di dalam forum menjadi sangat imperatif dan wajib dilaksanakan.
"Jika kemudian DPR memaksakan kehendakanya terhadap KPU, maka KPU sama sekali tidak dapat menolak oleh karena forum dengar pendapat telah menjadi mutlak karena bersifat mengikat," ujarnya lagi.
Dalam kesempatan lain, pemerintah yang diwakili oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto, menjawab gugatan yang diajukan oleh KPU tersebut dalam persidangan di MK.
Widodo mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum wajib memperhatikan dan menyesuaikan berbagai dinamika dari segala aspek kehidupan, proses, dan sinkronisasi.
"Inilah yang mewajibkan lembaga KPU untuk berkoordinasi dengan pemerintah dan DPR," ujar Widodo di Gedung MK Jakarta.
Lebih lanjut Widodo menyebutkan bahwa koordinasi KPU dengan pemerintah dan DPR diperlukan supaya dalam menyusun serta menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis dalam setiap tahapan pemilu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
"Ini harus sesuai dengan materi muatan yang diatur dalam UU a quo," jelas Widodo.
Ia juga mengatakan bahwa kata 'mandiri' tidaklah mengandung makna KPU dapat melakukan segala-galanya dengan sendiri, tanpa melibatkan unsur pemerintahan lainnya.
"Sekali lagi, karena dinamika penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dari aspek pemilihan umum saja," tegas Widodo.
Keputusan KPU untuk menggugat UU Pilkada di MK juga dinilai pemerintah merupakan tindakan yang sangat tidak etis berdasarkan etika penyelenggaraan pemerintahan.
Widodo mengatakan bahwa KPU selaku pemohon juga turut andil dalam setiap tahapan pembahasan UU Pilkada.
"Sehingga apabila ada hal-hal yang dinilai tidak sesuai seyogianya disampaikan pada saat pembahasan tersebut dengan permusyawaratan untuk mencapai mufakat yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dengan sebaik-baiknya," imbuh Widodo.
Berkaitan dengan hal ini pula mengingat UU a quo telah disepakati oleh pihak pihak terkait dan telah secara sah diundangkan, maka hal ini mengandung makna bahwa KPU juga telah sepakat dan sejalan atas terbitnya UU ini beserta materi yang ada di dalamnya.
Etis atau tidak, seharusnya KPU memang memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya dan merdeka dari segala intervensi, baik dari dalam KPU atau bahkan dari pihak luar KPU yang dapat mengganggu jalannya Pilkada. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved