Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
KEBERHASILAN sistem perlindungan anak terletak pada peradilan pidana kasus terhadap anak. Semakin kecil jumlah residivis, hukum dinilai telah menjerakan pelaku.
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia) Reza Indragiri Amriel mengatakan meningginya laporan kasus ke kepolisian justru mengindikasikan fajar cerah dalam dunia perlindungan anak di Indonesia. Hal tersebut merupakan buah dari orangtua dan masyarakat yang lebih aktif melapor.
"Kemudian media lebih gencar memberitakan lalu polisi lebih serius menangani laporan," ujar Reza, Selasa (22/11)
Menurut Reza, keberhasilan perlindungan anak bisa ditakar lewat peradilan pidana kasus anak. Perlindungan anak di Indonesia dapat dievaluasi, sudah positif ataukah masih jalan di tempat.
"LPAI menawarkan formula, bandingkan jumlah laporan kasus anak yang masuk ke kepolisian antarperiode. Jika jumlah pada tahun ini lebih tinggi daripada tahun lalu, berarti perlindungan anak lebih positif, karena publik sudah berani melapor," ujarnya.
Reza melanjutkan, jumlah laporan yang masuk ke kepolisian mestinya sejalan dengan berkas yang P21. Semakin tinggi selisih antara P21 dan jumlah laporan, berarti penindakan kasus kekerasan terhadap anak semakin positif.
"Itu pertanda bahwa polisi kian mampu menuntaskan pengungkapan kejadian yang dilaporkan," kata Reza.
Tidak hanya itu, Reza juga menyoroti ihwal putusan pengadilan. Evaluasi perlindungan anak perlu membandingkan putusan pengadilan dengan besaran sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ia mencontohkan, ambang minimal putusan dilakukan sebesar 80%. Semakin banyak putusan yang memidana terdakwa dengan hukuman minimal 80% dari total tahun pemidanaan, semakin positif pula dunia peradilan.
"Artinya, semakin tinggi penghayatan para hakim terhadap tuntutan publik agar pelaku dihukum berat," ujarnya.
Menurut Reza, efektifitas penghukuman juga dapat dilihat dari jumlah residivis kasus kekerasan terhadap anak.
"Semakin rendah selisihnya (residivis dengan terdakwa), berarti efektivitas pemidanaan atau penghukuman semakin tinggi," kata Reza.
Menurut Reza, berdasarkan data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MPPI), 70% putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak.
Selain itu, dari 280 putusan pengadilan dalam kurun 2011-2015, rata-rata hukuman penjara terdakwa kasus tersebut hanya 51 bulan.
Ia menilai, sistem peradilan pidana Indonesia dalam memenuhi dan menjaga hak anak dalam kasus kekerasan seksual belum efektif memerangi kekerasan anak.
Pasalnya, lanjut Reza, dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terdakwa kekerasan seksual anak dapat dikenai hukuman penjara hingga 15 tahun. Pemberatan hukuman pun bisa naik hingga 20 tahun.
"Diperkirakan, masalah mendasarnya terletak pada bagaimana sesungguhnya hakim memersepsi dan menginterpretasi peristiwa kejahatan seksual serta akibat multidimensionalnya terhadap anak," ujarnya.
Reza menambahkan, LPAI menaruh harapan positif peradilan pidana sebagai subsistem perlindungan anak-anak Indonesia sudah berfungsi lebih efektif.
Namun, apabila kegagalan sudah mencapai taraf sistemik, LPAI meminta diterapkan Protokol Opsional Ketiga Konvensi Hak Anak bahwa korban kanak-kanak dapat menyampaikan aduan langsung ke Komite PBB tentang Hak Anak.
"LPAI, Berdasarkan Konvensi Hak Anak, juga memiliki peran langsung untuk memantau implementasi Konvensi tersebut. Tidak terkecuali, baik secara mandiri maupun bersama korban kanak-kanak, membuat laporan ke Komite PBB terkait tentang pelanggaran sistemik atas hak anak," pungkasnya. (MTVN/OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved