18 Pasal Penegakan Hukum Pemilu Bermasalah

Erandhi Hutomo Saputra
06/11/2016 21:05
18 Pasal Penegakan Hukum Pemilu Bermasalah
(Ilustrasi)

PENELITI Divisi Hukum Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan penegakan hukum pemilu dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Penyelenggaraan Pemilu) dinilai belum menjadi fokus pemerintah.

Padahal, desain penegakan hukum pemilu yang baik dapat menentukan apakah penyelenggaraan pemilu berlangsung secara demokratis atau tidak.

Ia menyebut, isu penegakan hukum pemilu selalu terpinggirkan dan baru dibahas oleh DPR bersama pemerintah pada saat-saat akhir.

“Sehingga tidak mampu menciptakan penegakan hukum yang ideal,” ujar Fadli dalam diskusi di Jakarta, Minggu (6/11).

Dalam kajian Perludem terhadap isu penegakan hukum pemilu, terdapat 18 Pasal yang bermasalah dan terbagi dalam 3 kerangka besar. Tiga Pasal yang berkaitan dengan struktur penegakan hukum pemilu yakni Pasal 433 hingga Pasal 435, 6 pasal berkaitan dengan norma penegakan hukum pemilu yakni Pasal 433 ayat (3), Pasal 442 ayat (1), Pasal 454, Pasal 471, Pasal 475, dan Pasal 476, serta delapan pasal tentang norma sengketa pemilu yakni Pasal 444, Pasal 445 ayat (1), Pasal 445 ayat (3), Pasal 446 ayat (2), Pasal446 ayat (5), Pasal 448, Pasal 452 (2), dan Pasal 453 ayat (1).

Berkaitan dengan struktur penegakan hukum pemilu, Fadli menyebut terdapat struktur yang tidak tepat dalam pelanggaran pemilu, sebab Pasal 433 dan Pasal 434 membahas mengenai penanganan pelanggaran, sedangkan Pasal 435 membahas definisi masing-masing pelanggaran.

“Untuk lebih mudah dipahami, seharusnya definisi masing-masing pelanggaran diatur terlebih dahulu selanjutnya diatur mekanisme penanganan pelanggarannya,” ucap Fadli.

Adapun soal norma penegakan hukum pemilu, Fadli menyoroti Pasal 442 ayat (1) yang mengatur sanksi administrasi dari pelanggaran administrasi pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).

Menurutnya, makna TSM tersebut tidak dirumuskan secara jelas dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu. Dengan makna tersebut, Fadli memastikan Bawaslu akan kesulitan dalam merumuskan peraturan Bawaslu.

“Kalau ini tidak detail maka akan membuat pengawas pemilu kesulitan,” tukasnya.

Terkait norma sengketa pemilu, Perludem menyebut Pasal 445 ayat (3) yang mengatur pengaduan perkara tidak tepat. Dalam pasal tersebut pengaduan perkara hanya mencantumkan nama dan alamat pelapor, namun tidak menyebutkan alasan pengajuan sengketa.

Selain itu, Pasal 446 ayat (5) yang mengatur penyelesaian sengketa dengan musyawarah mufakat dinilai mubazir.

“Orang bersengketa pasti tidak bisa didamaikan dan lebih baik langsung menyelesaikan dengan proses sengketa yang adil,” kata Fadli.

Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut banyaknya persoalan penegakan hukum pemilu yang bermasalah membuktikan jika pembuatan RUU Penyelenggaraan Pemilu dilakukan secara tergesa-gesa. Di samping itu, dalam RUU tersebut terdapat 22 Pasal inkonstitusional seperti yang diungkap Kode Inisiatif.

“RUU Pemilu ini dibuat dalam situasi ketergesaan. Porsi penegakan hukum tidak mendapat tempat yang mmadai” ucapnya.

Menanggapi hal tersebut Mendagri Tjahjo Kumolo menampik jika pemerintah tergesa-gesa dalam merumuskan RUU Penyelenggaraan Pemilu, termasuk dalam hal penegakan hukum pemilu.

Tjahjo menyebut jika aturan pemilu yang menjadi perdebatan sejauh ini masih dalam bentuk rancangan, sehingga masih bisa berubah dalam pembahasan antara Pansus DPR dengan Pemerintah.

“Namanya masih rancangan UU masih bisa dirubah, diselaraskan, diluruskan dalam pembahasan Pansus DPR dengan pemerintah,” sebutnya.

Tjahjo menambahkan jika pemerintah memerhatikan setiap masukan dari masyarakat termasuk para pemerhati pemilu.

“Posisi pemerintah menyerap aspirasi masyarakat,” pungkasnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya