Hukum masih Tumpul ke Atas

Astri Novaria
12/10/2016 06:15
Hukum masih Tumpul ke Atas
(MI/PANCA SYURKANI)

PRESIDEN Joko Widodo menyadari bahwa cita-cita Indonesia sebagai negara hukum belum sepenuhnya terwujud baik dalam praktik penyelenggaraan negara ataupun realitas kehidupan rakyat sehari-hari. Sebagai negara hukum, kata Jokowi, kekuasaan pemerintah harus berdasarkan hukum dan negara harus hadir memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, termasuk rasa aman kepada seluruh warga negara.

"Hukum masih dirasa cenderung runcing ke bawah dan tumpul ke atas," ujar Presiden saat membuka rapat terbatas soal reformasi hukum di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin. Oleh karena itu, menurutnya perlu dilakukan reformasi hukum dari hulu sampai hilir

Seusai rapat, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung dalam konferensi pers bersama Menko Polhukam Wiranto menegaskan pemerintah akan menjalankan operasi pemberantasan pungutan liar dan penyelundupan (OPP) sebagai bagian langkah awal pelaksanaan reformasi hukum.

"Secara prinsip Presiden dan Wapres setuju dengan diadakannya operasi pemberantasan pungli dan penyelundupan," kata Pramono.

Seskab menyebutkan sasaran OPP antara lain adanya pungutan dalam pelayanan SIM, SKCK, BPKB, STNK, penanganan bukti pelanggaran, dan penyelundupan.

Menko Polhukam Wiranto menjelaskan setelah ada paket kebijakan ekonomi, kini pemerintah mulai melakukan reformasi hukum atau revitalisasi hukum nasional.

"Ada 60 ribu lebih, itu perlu penyederhanaan. Itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan kepercayaan masyarakat menjadi rendah," ujanya. Menurut dia, sasaran yang akan dicapai ialah pulihnya kepercayaan publik dan ada kepastian hukum.


Kepercayaan rendah

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku upaya reformasi internal Polri belum maksimal. Tingkat kepercayaan publik terhadap Polri pun masih rendah.

Tingkat kepercayaan publik yang rendah, menurut Tito, disebabkan tiga hal, yaitu kinerja yang belum maksimal, kultur korupsi, dan budaya eksesif yang berlebihan.

"Sikap arogansi, budaya yang masih koruptif, dan penggunaan kekerasan eksesif itu masih ada, seperti beberapa konflik yang terjadi. Kantor-kantor polisi ada yang dirusak. Nah, itu yang saya lihat belum karena commander wish dan kebijakan-kebijakan yang saya buat baru sampai ke tingkat middle manager, belum foot soldier," jelas Tito.

Karena itu, Tito berharap para anggota Polri mau mengubah sikap mereka dan menyadari betapa penting peran mereka secara individu untuk mendapat kepercayaan publik. Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu juga menerapkan sistem reward and punishment terhadap setiap anggotanya yang melanggar kode etik, disiplin, dan melakukan tindak pidana.

Di sisi lain, Kepala Pusat Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan sulitnya mereformasi kultur di tubuh Polri disebabkan adanya kesenjangan kekuasaan. Hierarki seperti itu bisa menyebabkan adanya senioritas, bahkan sogokan yang berjenjang ke level atas. (Nic/Ant/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya