Koalisi Hati Minta Pemerintah Hapuskan Hukuman Mati

Cahya Mulyana
09/10/2016 17:12
Koalisi Hati Minta Pemerintah Hapuskan Hukuman Mati
(ilustrasi--thinkstock)

HUKUMAN mati hanya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang berkelanjutan juga tidak menimbulkan efek jera. Karenanya, pemerintah harus menghentikan penghukuman ala kolonilal tersebut dan menghapus seluruh pasalnya.

"Hukuman mati tidak menimbulkan solusi peredaran narkoba. Oleh sebab itu, eksekusi hukuman warisan Belanda itu harus dimoratorium dan segera dihapus," tegas perwakilan Koalisi Masyarakat untuk Penghapusan Hukuman Mati (Koalisi Hati) sekaligus Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain, di gedung YLBHI, Jakarta, Minggu (9/10).

Pada kesempatan itu, hadir juga anggota Koalisi Hati lain seperti dari Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar dan Kepala Bidang Fair Trial Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana.

Ia menjelaskan pemerintah telah melakukan eksekusi pada 18 orang terpidana mati di era Presiden Joko Widodo. Data itu tentu lebih banyak dibanding era pemeirintah sebelumnya.

Tiga gelombang eksekusi terhadap 18 orang tersebut menunjukan rendahnya komitmen kepada penghormatan hak asasi manusia.

Tidak hanya itu, lanjut dia, eksekusi pun dinilai terdapat kesalahan dalam proses peradilannya karena masih ditemukan mafia peradilan, kriminalisasi, korupsi, dan rekayasa kasus. Namun, pemerintahan kali ini seolah menutup mata semua hal tersebut.

Menurut Bahrain, pemerintah juga harus membuka mata pada beberapa permasalahan. Itu pertama eksekusi yang dilakukan tertutup dan tidak transparan yang berdampak pada potensi merugikan hak para terpidananya.

Seharusnya, pemerintah melalui Kejaksaan Agung dapat bersikap terbuka dan mendengarkan kritik atau masukan dari masyarakat dalam pelaksanaan eksekusi.

Alasan kedua, kata dia, penerapan hukuman mati tidak menimbulkan efek jera, namun hukuman itu diyakini bisa memberikan efek getar. Alasan itu tentu hanya menjadi pemikiran pendek ketika menghadapi masalah serius.

"Data Badan Narkotika Nasional (BNN) terungkap angka penggunaan narkotika malah meningkat, 1.7 juta pengguna tahun 2015 setelah eksekusi jilid II menjadi 5.9 juta orang pengguna narkotika," terangnya.

Bahrain menambahkan alasain ketiga yaitu sikap presiden ketujuh sangat diskriminatif. Pasalnya, ia tidak akan menerima grasi terpidana mati pelaku narkotika tentu sikap itu mengesampingkan hak asasi manusia.

"Sehingga harusnya kepala negara memeriksa hukuman dengan perkara yang disangkakannya," tegasnya.

Sementara itu, peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menambahkan pemidanaan mati tidak ada korelasi dengan tindak pidana. Malah hukuman mati juga masih menyiratkan kekuatan politis untuk topang popularitas.

"Januari sampai April 2015, eksekusi telah dijatuhkan kepada 14 orang di tengah konflik kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Maka eksekusi diduga untuk melegitimasi kepemimpinannya di era keraguan publik," katanya.

Ia juga megatakan evaluasi harus dilakukan pada pemidanaan kuno ini karena terjadi tebang pilih dalam menjadwalkan eksekusi.

"Misalnya terhadap Ranni Andriani alias Melisa Aprilia yang hanya kurir juga dia ditolak upaya membongkar pelaku utamanya. Itu belum lagi beberapa yang lain dipaksa mengaku setelah disiksa," terangnya.

Kemudian, penerapan hukuman tidak adil karena hanya menyasar kurir narkotika. Padahal kejahatan luar biasa yang diancam hukuman mati tidak diterapkan pada pelaku tindak pidana korupsi.

"Mengapa hukuman mati tidak diterapkan pada koruptor? Jelas ini tanda tanya dan terkesan diskriminasi akibat koruptor berasal dari kalangan kaya raya namun narkoba dari ekonomi bawah," ungkapnya.

Kepala Bidang Fair Trial LBH Jakarta, Arif Maulana meminta pemerintah hentikan hukuman mati. Kemudian terhadap penerima vonis tersebut dilakukan eksaminasi dan mengganti hukuman.

Ia meminta juga mengapus ketentuan pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukuman Pidana (RKUHP).

"Terpenting lagi, pemerintah selain menghapus seluruh pasal hukuman mati adalah menjamin proses peradilan yang adil dan menjunjung hak hidup, dan bebas dari penyiksaan kepada semua orang," tukasnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya