Komite Kepresidenan Perlu Dibentuk untuk Penyelesaian Kasus HAM

Golda Eksa
30/9/2016 21:28
Komite Kepresidenan Perlu Dibentuk untuk Penyelesaian Kasus HAM
(MI/MOHAMAD IRFAN)

PENYELESAIAN kasus tragedi berdarah 1965 dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu hingga kini belum menemui titik terang. Negara pun wajib merespons dengan mendorong percepatan rekonsiliasi demi mengungkap kebenaran sejarah untuk masa depan Indonesia.

"Atas nama kedewasaan bernegara kini saatnya negara hadir 'mendamaikan' tragedi 1965 dengan melibatkan seluruh elemen bangsa, demi sejarah masa depan," kata Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo di sela diskusi 'Gerakan 30 September Hari Ini: Rekonsiliasi dan Sejarah Masa Depan Indonesia'.

Acara diselenggarakan di Kantor Para Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (30/9). Turut hadir selaku pembicara peneliti utama LIPI/sejarawan Asvi Warman Adam, Ketua Umum Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Sukmawati Soekarnoputri, serta pengamat politik dan keamanan Kusnanto Anggoro.

Asvi menilai ada beberapa fase untuk mencapai rekonsiliasi, seperti pengungkapan fakta kebenaran, penyajian tanpa direkayasa, serta melakukan kritik sumber atau memeriksa pihak yang memberikan keterangan dan kemudian memastikan relevansinya dengan pertanyaan.

"Belakangan ini banyak buku yang tidak meluruskan sejarah, tapi malah bikin semrawut. Tidak memakai sumber yang layak dan dipercaya," katanya.

Jika membicarakan fakta, terang dia, pemerintah sejatinya bersedia mengakui semua insiden pembunuhan massal yang terjadi di masa lalu. Namun, saat ini lebih elok untuk membahas jalan keluar ketimbang larut dalam perdebatan tentang siapa pihak yang patut disalahkan.

Menurutnya, Presiden Joko Widodo perlu membentuk Komite Kepresidenan untuk mengungkap kebenaran dan pemulihan hak korban. Anggotanya pun independen dan bukan bagian dari tim yang berada di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

"Tidak terdiri dari TNI dan Kejaksaan Agung, tapi independen. Dalam bayangan saya tim ini terdiri atas 9 perempuan yang selama ini sudah menangani kasus HAM. Apakah penyelesaian melalui konsep yudisial atau non yudisial, ini harus diselesaikan secara khusus."

Penyelesaian tragedi berdarah 1965, terang Asvi, penting untuk dipilah menjadi 5 unsur, yaitu pembunuhan 6 jenderal dan 4 pahlawan revolusi di Jakarta dan Yogyakarta, pembantaian massal yang berkasnya telah diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung, penghilangan status kewarganegaraan ribuan orang di luar negeri, pembuangan paksa di Pulau Buru (1969-1979), serta stigma dan diskriminasi terhadap korban maupun keluarganya.

Senada disampaikan Sukmawati. Katanya, rekonsiliasi dipandang sebagai solusi terbaik. Tujuannya agar generasi penerus bangsa tidak terbebani dengan noda hitam sejarah. "Karena kalau secara hukum, kan pelakunya sudah tidak ada," ujar dia.

Sukmawati menegaskan, Mayjen Soeharto merupakan aktor utama kudeta dewan jenderal yang akhirnya melengserkan Presiden Soekarno. Namun, Soeharto dinilai tidak memiliki peran sentral untuk proses pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri.

Kusnanto menambahkan, penuntasan kasus HAM berat dengan rekonsiliasi mustahil tercapai apabila tidak ada campur tangan negara secara langsung. Hasil rekonsiliasi juga harus diterima oleh semua pihak, karena keputusan tersebut merupakan upaya institusional.

"Yang perlu kita pastikan adalah apa yang ingin kita capai di sini, di situ. Kemudian persyaratan institusional apa yang perlu dipenuhi," tandasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya