Revisi PP 99/2012 tidak Menjawab Persoalan Lapas

Astri Novaria
25/9/2016 16:38
Revisi PP 99/2012 tidak Menjawab Persoalan Lapas
(ANTARA/Oky Lukmansyah)

KEMENTERIAN Hukum dan HAM mengkaji revisi Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal ini dilakukan Kemenkumham dengan mengumpulkan para pakar hukum Indonesia selama dua hari di Bogor dalam Focus Group Discussion (FGD) yang bertemakan 'Pembuatan Cetak Biru Pembangunan Hukum Indonesia di Bidang hukum dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Hak Warga Binaan Pemasyarakatan'.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, salah satu pakar yang hadir dalam kesempatan tersebut berpendapat, tidak ada alasan logis untuk merevisi PP 99/2012 tersebut.

Jika selama ini dikatakan lapas memiliki persoalan kelebihan kapasitas, menurutnya, itu bukan akibat dari adanya PP 99/2012.

Ia memahami bahwa sejatinya tidak ada peraturan yang sempurna dan tidak dapat direvisi. Namun ia berharap rencana pemerintah untuk mengkaji persoalan lapas dapat dilakukan secara komprehensif.

"Mari buka wacana, jangan tiba-tiba sudah ada kesimpulan. Pengayaan wacananya saja belum sudah ada konklusi. Kalau ada riset yang bisa menghubungkan persoalan lapas dengan PP 99/2012 bagus, tapi ini kan belum ada. Jadi jangan diubah. Siapa tahu bukan di situ solusinya," ujar Zainal saat berbincang dengan Media Indonesia, Minggu (25/9).

Menurutnya, PP 99/2012 merupakan semangat pemberantasan terhadap korupsi, terorisme, dan narkoba. Ia sependapat bahwa kelebihan kapasitas di lapas memang harus dicari solusinya. Namun, menurut Zainal, hal itu tidak ada hubungannya dengan PP 99/2012.

"Selama PP diberlakukan pernah angka pertumbuhan itu naik berapa ribu, tapi pernah juga turun berapa ribu. Siapa tahu lapas penuh karena kerja pengadilan cepat jadi makin banyak orang dipidana," imbuhnya.

Ia mencontohkan pada kasus narkoba. Adapun penghuni lapas di Indonesia paling banyak dari napi kasus narkoba. Menurutnya hal ini disebabkan lantaran konsep penghukumannya tidak jelas antara pengedar dan pemakai.

"Di negara lain pemakai tidak dipidana, tapi direhab. Kalau konsep ini ditegakkan, tidak ada problem dengan PP 99/2012," paparnya.

Selanjutnya, ia juga menyoalkan soal banyaknya remisi sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Presiden No 174 tahun 1999 tentang remisi. Di Keppres itu, seorang narapdana dalam satu tahun bisa mendapatkan banyak jenis remisi, seperti remisi 17 Agustus, remisi hari raya dan remisi tambahan.

Keppres itu, menurutnya, sudah tidak sesuai dan perlu direvisi. Selain jenis remisi yang cukup banyak, syarat narapidana mendapatkan remisi juga dipertanyakan. Pihak LP dinilai harus selektif memberikan syarat kelakuan baik.

"Kenapa tidak berpikir ketatkan jenis remisi itu? Justru jauh lebih penting daripada mengganti PP 99/2012. Kita kebanyakan remisi. Contoh, Urip Tri Gunawan (terpidana korupsi) yang dihukum 20 tahun dengan jenis remisi di Keppres itu bisa bebas dengan masa pemidanaan 9 tahun," terangnya.

Selain itu, Zainal juga mempersoalkan tentang konsep justice collaborator yang menurutnya perlu diperbaiki lantaran harus dikembalikan kepada penegak hukum yang menangani perkara narapidana. Terlebih, sambung dia, kencangnya isu soal jual beli justice collaborator di lembaga penegak hukum.

"Mari kita bedakan mana problem di PP 99/2012 dan problem di real life-nya. Jangan tak pandai menari dikatakan lantai terjungkat. Lebih baik konsep justice collaborator-nya yang diperbaiki. Sebab selama ini UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan SKB dengan LPSK juga tidak jelas," jelasnya.

Zainal mengungkapkan pada FGD tersebut, Kemenkumham masih banyak mendengar masukan dari pakar hukum yang hadir. Meskipun demikian, ada tawaran opsi yang sempat dilontarkan Menkumham.

"Tawaran dari Pak Menteri, syarat untuk dapat remisi itu setelah narapidana menjalani 1/3 masa hukuman. Tapi balik lagi, kalau tujuannya mengurangi jumlah napi itu bukan solusinya," pungkasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya