Demokrasi Terimpit Korupsi

Erandhi Hutomo Saputra
21/9/2016 06:05
Demokrasi Terimpit Korupsi
(MI/ATET DWI PRAMADIA)

PRAKTIK demokrasi di Indonesia sudah menuju arah yang benar. Namun, di sisi lain, masalah besar bernama korupsi masih menghantui bangsa.

Hal itu dikemukakan Ketua Fraksi Partai NasDem Viktor Bungtilu Laiskodat saat memberi kuliah umum di hadapan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Kampus UKI Jakarta, kemarin.

“Buat saya, masalah demokrasi sudah selesai karena bicara demokrasi kita demokratis. Memang masalah serius kita uang (korupsi),” ujar Viktor.

Seriusnya masalah korupsi di Indonesia itu dicontohkan Victor dari tertangkapnya mantan Ketua DPD Irman Gusman oleh KPK karena menerima suap Rp100 juta. Suap Rp100 juta, menurut Viktor, merupakan hal yang miris dan sulit diterima akal sehat.

Viktor mengatakan masih maraknya kasus korupsi disebabkan ideologi yang diperjuangkan kalah melawan kebutuhan pragmatis. Dalam melawan hal itu, NasDem terus berjuang untuk menggaungkan semangat restorasi. Hal itu dibuktikan dengan sikap NasDem yang menolak untuk menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan DPR karena tidak mengejar kepentingan pragmatis.

Sementara itu, untuk mengembalikan jati diri politik Indonesia, NasDem berkomitmen mengembalikan sistem demokrasi Indonesia melalui musyawarah untuk mufakat ketimbang voting.

Viktor pun berharap, dalam memilih calon baik DPRD, DPR, kepala daerah, maupun presiden dan wakil presiden, masyarakat menyimak integritas mereka.

“Korupsi tidak ada hubungannya sama partai dan demokrasi. Itu (korupsi) hubung­annya dengan integritas. Supaya demokrasi matang, ya, masyarakat harus paham siapa yang dia pilih,” jelasnya.

Di tempat yang sama, penulis buku Peradaban Gotong Royong Merphin Pandjaitan menilai sistem demokrasi masih lemah. Hal itu terlihat dari kedaulatan yang tidak berada di tangan rakyat, tetapi di tangan parpol. Kewenangan untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden serta DPR dan DPRD hanya dimiliki parpol.


Jangan berpuas diri

Ketika membuka Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah 2016, Presiden Joko Widodo juga menyoroti penyakit korupsi. Presiden meminta kepala daerah dan kementerian/lembaga tidak berpuas diri kendati mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan.

Predikat itu bukan jamin­an tidak ada praktik penyelewengan anggaran dan korupsi di daerah dan kementerian/lembaga yang bersangkutan. Masih ada banyak hal yang bisa disempurnakan dari sistem pelapor­an keuangan saat ini.

“Jangan hanya berhenti mengejar predikat WTP. Justru, dengan predikat WTP, kita harus lebih bekerja keras lagi untuk membangun budaya pengelolaan keuangan yang transparan dan lebih akuntabel,” ujar Presiden, di Istana Negara, Jakarta, kemarin.

Pada kesempatan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani merilis 22 kementerian/lembaga serta 15 pemerintah daerah yang laporan keuangan mereka mendapatkan opini WTP. (Pol/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya