Kolaborasi Putuskan Siklus Teror

Arif Hulwan
11/9/2016 10:42
Kolaborasi Putuskan Siklus Teror
(MI/Susanto)

SEORANG siswi berjilbab dari SMAN 1 Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat, sempat berkukuh sejumlah teror bom bunuh diri ialah benar jihad. Pemberi materi diskusi, Sudirman A Thalib, kemudian membuka luka-lukanya yang tak pernah benar-benar pulih akibat serangan teroris di depan Kedutaan Besar Australia. Hening sesaat.

Dua belas tahun lalu, 9 September 2004, Sudirman merupakan salah satu anggota satpam kedubes saat terjadi insiden bom bunuh diri yang dilakukan Heri Kurniawan alias Heri Golun. Sudirman berada tidak jauh di belakang dua rekannya, Iswanto dan Mulyono Sutrisman, yang mencoba mengalihkan mobil mini van yang dikemudikan Heri ke arah kedutaan.

Pelaku bergegas memicu bom. Sudirman terlempar beberapa meter. Serpihan logam tertancap di mata kirinya. Kepalanya terluka hingga mengganggu sistem sarafnya. Sampai saat ini, ia harus meminum obat demi meredam gangguan saraf itu.

Kisah Sudirman dipadu dengan materi dari Ali Fauzi, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI), ahli perakit bom, sekaligus adik dari pelaku bom Bali I, Amrozi. Pandangan siswi peserta dialog interaktif, akhir tahun lalu, di Bima, soal jihad itu mulai bergeser.

“Dulu saya berpikir orang yang bukan dari agama Islam harus dibunuh. Sekarang saya sadar, pemahaman itu salah,” ujar siswi yang tidak disebutkan namanya itu, seperti ditirukan Sudirman, saat ditemui dalam peringatan 12 tahun ledakan bom terorisme, bertema Kekerasan jangan dibalas kekerasan.

Acara yang diselenggarakan di Jakarta, kemarin, tersebut digagas Yayasan Penyintas Indonesia, Aliansi Indonesia Damai (Aida), dan Forum Kuningan.

Peneliti dari Indonesian Institute for Society Empowerment (Insep) Ahmad Baedowi pernah menyebut soal potensi radikalisme di sekolah. Dalam penelitian bersama Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) di 2010, Insep menemukan mayoritas latar pendidikan para pelaku teror ialah SMA (48,2%).

Kemudian disusul diploma atau universitas (16,4%), SMP (10,9%), SMK (6,4%), pesan­tren (5,5%), madrasah aliyah (3,6%), SD (3,6%), dan perguruan tinggi berbasis agama (3,6%).

Motif tindakan didominasi oleh ideologi religius (45,5%) dan solidaritas komunal (20%). Pada penelitian selanjutnya di 2012, Insep menemukan 25% siswa SMA (dari 600 responden) menilai Pancasila sudah tidak relevan. Keberagaman mendapat tentangan.

Cakupan komprehensif
Aida berupaya mencegah reproduksi kekerasan radikalisme dengan pendekatan dari dua sisi sekaligus, yakni pelaku dan korban. Program dilakukan ke daerah-daerah yang dikenal sebagai zona merah radikalisme. Hasil positif pun terlihat.

Hasibullah Satrawi, Direktur Aida, menyebut hal itu tidak lepas dari keberanian para korban untuk memberi maaf kepada pelaku. “Hanya orang yang minum jamu tahu pahitnya jamu. Hanya orang yang mengalami ketidakdamaian yang merasakan betul bahaya kekerasan,” ucap Hasibullah.

Sayangnya, kata alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK) belum menyentuh program semacam ini. Padahal, pemberantasan terorisme di Indonesia perlu cakupan yang komprehensif. Khusus bagi para korban, Hasibullah dan Sudirman juga meminta kemudahan kompensasi bagi korban teror lewat revisi UU Terorisme. (P-1)

arif_hulwan@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya