RI Minta Filipina Tuntaskan Kasus Mary Jane

Astri Novaria
10/9/2016 06:50
RI Minta Filipina Tuntaskan Kasus Mary Jane
(AP/Dita Alangkara)

APARAT penegak hukum Indonesia belum bisa menuntaskan penindakan terhadap Mary Jane Veloso, terpidana mati kasus narkoba yang mendapatkan penundaan eksekusi.

Kejaksaan Agung RI masih menunggu proses hukum di Filipina yang menyidik dugaan Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia mafia narkoba.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengaku sudah bertemu dengan jaksa agung Filipina dan meminta agar proses hukum Mary Jane di Filipina dipercepat.

Ada permintaan dari Filipina agar pemerintah Indonesia segera memberi pengampunan kepada Mary Jane.

Namun, Prasetyo menegaskan Presiden Joko Widodo baru akan mempertimbangkan pemberian grasi apabila sudah ada putusan dari pengadilan Filipina bahwa Mary Jane ialah korban perdagangan manusia.

"Pak Presiden sudah tahu itu. Yang jelas kita tetap menunggu proses hukum yang dijalankan di sana. Saya sudah bertemu jaksa agungnya, semoga cepat selesaikan itu," ujar Prasetyo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Prasetyo memastikan, bila pengadilan Filipina ingin melakukan pemeriksaan terhadap Mary Jane, kejaksaan siap memfasilitasi selama dilakukan di Indonesia.

Pemeriksaan bisa pula melalui sambungan telekonferensi.

Saat tiba di Indonesia pada 2010, Mary Jane tepergok membawa 2,6 kg heroin.

Mary Jane sedianya dieksekusi pada April tahun lalu.

Namun, Presiden Jokowi memutuskan menunda eksekusinya atas permintaan Presiden Filipina yang ketika itu dijabat Benigno Aquino.

Media lokal di Filipina memberitakan, salah satu agenda kunjungan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ke Indonesia, kemarin hingga hari ini, mengajukan keringanan hukuman mati bagi Mary Jane.

Permintaan tersebut terlihat kontradiktif mengingat lebih dari 2.800 orang tewas akibat operasi kepolisian Filipina bertajuk Double Barrel untuk memerangi peredaran obat-obatan terlarang.

Kebijakan Duterte yang memberlakukan tembak di tempat tersebut menuai kritik keras dari aktivis HAM internasional dan sejumlah kepala negara, termasuk Presiden AS Barack Obama.

Namun, Duterte bergeming. Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai tidak ada yang salah dengan perilaku Duterte yang tampak kontradiktif.

Hal itu menunjukkan upaya negara melindungi warganya.

Sama seperti ketika Indonesia ke Arab Saudi untuk upaya pembebasan WNI yang divonis mati.

Padahal, di Indonesia sendiri kebijakan hukuman mati juga masih berlangsung.

"Duterte melawan narkoba itu berarti mereka punya kedaulatan dan begitu pula dengan Indonesia yang punya kebijakan," katanya.

Hikmahanto juga menekankan tidak perlu ada diskriminasi.

Semua yang bersalah harus dieksekusi sesuai keputusan pengadilan, tidak peduli dari mana orang tersebut berasal.


Menolak

Protes terhadap hukuman mati yang berlaku di Indonesia juga terus digaungkan aktivis HAM. Menurut pengacara senior Todung Mulya Lubis, hukuman mati tidak membuat angka kejahatan narkoba menurun.

Ironisnya, sambung Todung, oknum aparat penegak hukum justru diduga terlibat dalam bisnis narkoba yang dibuktikan dari testimoni terpidana mati Freddy Budiman kepada Koordinator Kontras, Haris Azhar.

"Ketika dengar kesaksian Freddy, narkoba ini merupakan bisnis bancakan yang melibatkan banyak pihak termasuk aparat, apa ada efek jera?" tukas Todung dalam diskusi Utopia Keadilan dalam Penerapan Hukuman Mati, di Plaza Indonesia Jakarta, kemarin.

Diskusi itu juga menampilkan Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras Putri Kanesia dan Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan sebagai pembicara. (Ant/Nyu/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya