Darurat Kejahatan Korporasi

Richaldo Y Hariandja
09/9/2016 07:15
Darurat Kejahatan Korporasi
(ANTARA/Rivan Awal Lingga)

INDONESIA saat ini mengalami darurat kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup.

Dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

Akan tetapi, penegak hukum lebih mudah menjerat pelaku perorangan ketimbang perusahaan.

Untuk itu pemerintah diusulkan segera membentuk satuan tugas khusus (satgas) kejahatan lingkungan hidup yang juga melibatkan korporasi.

Usulan itu disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Nur Hidayati, yang didukung oleh anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu, saat dihubungi secara terpisah, di Jakarta kemarin.

"Kalau dilihat kejahatan korporasi di bidang lingkungan tidak bisa dijangkau oleh sistem hukum kita saat ini. Sudah seperti kasus korupsi, luar biasa dan menimbulkan dampak besar. Sering kali dilakukan secara sistematis," ujar Hidayati yang akrab disapa Yaya.

Menurutnya, satgas tersebut harus terdiri atas pihak kepolisian, pakar lingkungan, dan pakar keuangan untuk melihat indikasi korupsi dan praktik pencucian uang yang dilakukan korporasi.

"Nantinya, satgas tersebut berada di bawah dan dibentuk langsung oleh Presiden," tambah Yaya.

Di sisi lain, Masinton mengatakan kejahatan lingkungan hidup bersifat multisektor. Kerugiannya pun tidak hanya di satu bidang.

"Ada kerugian kesehatan, sosial, dan kemanusiaan. Banyak peradaban musnah. Jadi, satgas perlu dibentuk. Pemerintah harus melakukan terobosan," ucap Kader PDIP itu.

Panitia Kerja (Panja) Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang diinisiasi Komisi III, lanjutnya, masih dalam proses pengumpulan informasi dan data.

"Pekan depan, kami akan membentuk agenda mulai dari pengecekan di lapangan, dan validasi data yang kami miliki," terang Masinton.

Parlemen, imbuhnya, akan mendesak pemerintah pusat dan pemda untuk mengkaji perizinan perusahaan yang bergerak di kawasan hutan.

"Ini kejahatan luar biasa. Dia berada satu tingkat di atas kejahatan narkoba dan terorisme," ujar Masinton.

Lebih lanjut, Yaya memaparkan, hasil temuan panja karhutla Komisi III DPR menunjukkan ada 8 dari 15 perusahaan yang diberikan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh Polda Riau, ternyata pernah menerima surat serupa sebelumnya.

"Ini membuktikan ada yang tidak beres dengan SP3 ini, kami mendesak Polri untuk menyelidiki secara internal," tambahnya.

Dalam kesempatan lain, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) Rahmawati Retno Winarni meminta agar dilakukan pengetatan pendanaan terkait bisnis di kawasan hutan.

Otoritas Jasa Keuangan, lanjutnya, diminta untuk melakukan uji tuntas (due dilligent) dan memperkuat penjagaan terhadap aspek sosial dan lingkungan untuk usaha di kawasan hutan.

Sementara itu, Ketua Tim Pemantauan Karhutla Komnas HAM Sandra Moniaga menyatakan pola penanganan pemerintah dan pemerintah daerah terhadap karhutla di Sumatra Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah selama 18 tahun salah.

"Orientasi pada pemadaman api menyalahi siklus manajemen bencana yang diatur dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU itu, seharusnya upaya penanggulangan asap harus dimulai dari tahap mitigasi, tanggap darurat, pemulihan, rehabilitasi, dan rekontruksi," jelas Sandra. (Nyu/Adi/DY/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya