Kasus Damayanti Bukti Justice Collaborator Ampuh

Erandhi Hutomo Saputra
30/8/2016 21:45
Kasus Damayanti Bukti Justice Collaborator Ampuh
(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

PEMBERIAN status Justice Collaborator (JC) kepada mantan anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti yang bisa mengungkap keterlibatan pelaku lain membuktikan instrumen itu sangat ampuh.

Hal itu dikatakan Pengamat Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan saat dihubungi di Jakarta, Selasa (30/8). Menurut dia, sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang kukuh untuk menghapus syarat JC dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 sebagai tindakan yang keliru.

“Kasus Damayanti salah satu contoh yang positif, dan diapresiasi lewat tuntutan yang hanya 6 tahun,” ujar Agustinus.

Menurutnya, argumen Menkum dan HAM Yasonna yang mengatakan pemberian JC bisa diberikan saat penuntutan atau penjatuhan vonis tetapi tidak saat menjalani masa pidana tidak tepat. Pasalnya, setiap terdakwa atau terpidana tidak bisa dipaksakan untuk menjadi JC saat berproses di pengadilan.

"Momen itu tidak bisa diatur, itu sangat alami. Apakah dia cukup aman jadi JC saat di persidangan, kalau dia takut dan memikirkan keluarga bagaimana?" tukasnya.

Untuk itu, kata dia, harus ada alternatif dalam revisi PP 99/2012 dengan tidak menghapus instrumen JC. Ia mencontohkan jika para terpidana kasus kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan terorisme tidak mendapatkan status JC tetapi tetap harus mendapatkan remisi, terpidana tersebut bisa dinilai dari perubahan perilaku selama berada di tahanan.

"Maka penilaian perilaku tidak hanya diserahkan kepada petugas lapas tetapi juga melibatkan psikolog untuk menguji apakah perilakunya sudah berubah," jelasnya.

Dihubungi terpisah, Pengamat Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Achyar Salmi menyebut pendapat Menkum dan HAM Yasonna soal penyamaan hak warga binaan antara kejahatan luar biasa dan kejahatan biasa dalam pemberian remisi tidak tepat.

Menurutnya, terpidana tindak pidana luar biasa seperti korupsi, narkoba, dan teroris tidak bisa disamakan dengan tindak pidana kejahatan biasa seperti pembunuhan, dan pencurian.

Pasalnya, aturan perundang-undangan untuk kejahatan luar biasa telah diatur dalam UU tersendiri, dengan demikian aturan pemberian remisi dalam PP 99/2012 yang mewajibkan JC sudah tepat.

"Menurut saya tidak adil dan tidak benar melakukan hal yang berbeda tapi diperlakukan sama. Sehingga perlakuannya juga harus berbeda, tidak bisa diberlakukan sama," pungkasnya. (OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya