Pelanggaran HAM Sisakan Ketidakpastian

Nur
25/8/2016 06:40
Pelanggaran HAM Sisakan Ketidakpastian
(MI/RAMDANI)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) memperkuat desakan agar pemerintah segera mengakhiri ketidakpastian hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Putusan itu dijatuhkan terhadap permohon-an uji materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani mengakui MK menolak gugatan tersebut.

Namun, MK memberikan catatan penting dalam pertimbangannya.

Catatan tersebut yang kemudian seharusnya ditindaklanjuti Presiden Joko Widodo dan jajaran di bawahnya.

Catatan itu meliputi, pertama, putusan MK mengafirmasi bahwa korban pelanggaran HAM berat telah mengalami ketidakpastian hukum.

Ketidakpastian tersebut diakibatkan lemahnya kinerja lembaga negara dalam mempraktikkan norma hukum, meskipun interpretasinya sudah jelas.

Majelis menegaskan bahwa pengembalian berkas hanya dimungkinkan berkenaan dengan ketidakjelasan tindak pidana atau cara dilakukannya tindak pidana atau berkenaan dengan bukti-bukti.

"Putusan MK ini memperkuat pemerintah untuk mengakhiri ketidakpastian hukum bagi korban pelanggaran HAM," terang Yati saat ditemui di Kantor Kontras, Jakarta, kemarin.

Kontras mencatat dari tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang sedang berproses, setidaknya ada tiga berkas yang menghadapi inkonsistensi alasan pengembalian bolak balik berkas dari penyidik ke penyelidik.

Ketiga berkas meliputi kasus Kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 97/98, dan Talangsari 1989.

Catatan kedua, majelis meminta pembentuk UU untuk melengkapi ketentuan Pasal 20 UU 26/2000.

Dengan demikian terdapat jalan keluar terkait ketidakpastian hukum.

Ketiga, majelis juga menyampaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah tidak berada di wilayah yuridis, tetapi pada kemauan politik semua pihak untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat.

MK telah menolak seluruh permohonan uji materi UU No 26/2000 tentang Pengadil-an HAM.

Perkara yang teregistrasi Nomor 75/PUU-XIII/2015 itu diajukan ayah korban Penghilangan Paksa 97/98 Paian Siahaan dan ibunda korban Kerusuhan Mei 1998 Ruyati Darwin.

Paian mengatakan ia mengajukan uji materi agar penyelesaian berkas antara Komnas HAM dan kejaksaan segera rampung.

"Sudah tiga kali (berkas) bolak-balik karena setiap kita audisi ke Komnas HAM, bilang sudah diserahkan ke kejaksaan. Begitu sebaliknya. Jadi, kami tidak pernah diberi kepastian," tandasnya. (Nur/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya