Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
MANTAN narapidana kasus korupsi pengadaan helikopter yang juga mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, kini bisa bernapas lega. Gugatan uji mateti Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang diajukan Puteh dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan begitu, mantan narapidana (napi) bisa menjadi calon kepala daerah dalam pilkada di Aceh.
“Menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat bacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, kemarin.
Dalam pertimbangannya, hakim Anwar Usman menyatakan MK mendasarkan putusan pada pertimbangan hukum sesuai putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Putusan itu menyatakan mantan napi tetap bisa maju dalam pilkada jika mengumumkan ke publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Syarat tersebut sama dengan yang diatur dalam UU Pilkada.
“Dalil pemohon mengenai Pasal 67 ayat (2) huruf g UU 11/2006 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana, beralasan menurut hukum,” urai Anwar.
Kuasa hukum Puteh, Supriyadi Adi, menyambut baik putusan tersebut sehingga kliennya bisa maju sebagai calon independen bersama dengan Sayet Mustafa Usab. “Putusan tersebut sesuai dengan harapan dan prediksi. Pasalnya, telah ada yurisprudensi putusan MK dengan substansi yang sama.”
Selain itu, syarat pencalonan kepala desa yang harus berdomisili minimal satu tahun di desa setempat dihapus MK. Majelis hakim MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Substansi yang digugat ialah Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf a dan c UU Nomor 6/2014 tentang Desa.
Di sisi lain, MK diminta menentukan limitasi waktu dalam memproses permohonan uji materi yang diajukan para pemohon. Dengan begitu, para pemohon mendapatkan kepastian hukum dan waktu terkait dengan UU yang diuji.
“Kita memang mengusulkan supaya ada limitasi waktu dalam proses pengujian UU di MK seperti perkara sengketa pilkada (45 hari), pileg (30 hari), dan pilpres (14 hari). Hasil riset kami menunjukkan ketidakpastian waktu dalam menyelesaikan perkara uji materi telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pemohon,” terang Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi.
Kode Inisiatif memaparkan hasil kajian kuantitatif terhadap putusan MK sejak 2003. Dari 861 perkara, 194 dikabulkan, 298 ditolak, 277 tidak diterima, dan 92 ditarik kembali. (Nyu/Nur/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved