Pentingnya Menjaga Kawasan

Victor Ratu
16/8/2016 09:05
Pentingnya Menjaga Kawasan
(MI/VIKTOR RATU)

SABTU di penghujung Maret 2016, tepatnya tanggal 26, kapal Brahma 12 dan Anand 12 yang mengangkut 7.000 ton batu bara tiba-tiba disergap sejumlah orang. Saat itu, kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalsel, menuju Batangas, Filipina Selatan. Para penyergap ternyata anggota kelompok militan Abu Sayyaf.

Mereka kemudian menyandera 10 awak kapal tersebut di Pulau Sulu dan meminta tebusan 50 juta peso (sekitar Rp15 miliar) dengan batas waktu pembayaran 8 April 2016. Berita itu sampai ke Jakarta beberapa hari kemudian. Sejumlah media lokal maupun internasional pun mengabarkan penyanderaan itu. Para pejabat pun dibuat sibuk, termasuk di lingkungan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan.

Pemerintah lantas mengupayakan pembebasan ke-10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf tersebut. Presiden Joko Widodo bahkan menghubungi langsung dan meminta jaminan kepada Presiden Filipina Benigno Aquino III atas keselamatan para sandera, apalagi tentara Filipina menolak bantuan militer Indonesia.

Menurut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, penolakan militer Filipina tersebut sebagai sesuatu yang lumrah untuk menjaga harga diri. Nasib ke-10 WNI yang disandera menjadi tanggung jawab Filipina karena penyanderaan terjadi di wilayah mereka.

“Bila terjadi di wilayah Indonesia, pemerintah kita juga melakukan hal serupa,” katanya kala itu.

Seiring waktu yang terus berjalan, Indonesia dan Filipina terus bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf.

Lokasi penyanderaan sudah diketahui pula. Para sandera dipisah menjadi dua kelompok, tetapi di lokasi yang berdekatan. Selain ke-10 WNI, ada 11 orang lainnya yang juga disandera. Mereka berasal dari Kanada, Norwegia, Belanda, Italia, dan Filipina.

Lewat jalur diplomasi, komunikasi intensif juga terus dijalin Menlu RI Retno Marsudi dengan Menlu Filipina untuk menjajaki opsi terbaik pembebasan sandera.

Menurut dia, keselamatan ke-10 WNI itu menjadi prioritas. Terkait dengan uang tebusan yang diminta pembajak, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, meski beragam upaya ditempuh demi keselamatan sandera, pemerintah memastikan tidak akan membayar tebusan yang diminta penyandera.

“Yang jelas pemerintah tidak mau ditekan siapa pun. Apalagi oleh para perompak, milisi, atau siapa pun.”

Sementara proses negosiasi dan diplomasi berlangsung, pihak TNI dan Polri telah disiagakan jika sewaktu-waktu diperlukan untuk pembebasan sandera. Di Tarakan, Kalimantan Utara, 500 personel TNI dan Polri bahkan melakukan simulasi operasi pembebasan sandera. Mereka terdiri atas pasukan elite dari lintas angkatan, seperti Kopassus, Kostrad, Denjaka, Paskhas, Detasemen Bravo, dan Brimob, serta didukung 5 kapal perang TNI-AL.

Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi yang memimpin langsung simulasi tersebut mengatakan pasukan tinggal menunggu perintah dari Panglima TNI.


Jalur rawan

Kasus pembajakan yang dialami dua kapal Indonesia itu bukanlah kali pertama. Menurut Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara, Usman Fakih, kondisi laut Filipina Selatan kini hampir sama dengan Somalia. Jalur di sana menjadi tidak aman akibat pembajakan dan penyanderaan oleh kelompok separatis.

“Sudah banyak warga negara asing yang ditangkap dan dijadikan sandera, termasuk pengusaha Malaysia,” ucapnya.

Bahkan, kata dia, perairan Kalimantan Utara menjadi satu dari delapan zona merah. Ancaman pembajakan dan penyanderaan bisa menimpa siapa saja, apakah itu nelayan, pekerja kapal, wisatawan, maupun pengusaha. Itulah pentingnya menjaga kedaulatan wilayah dari ancaman siapa pun dan dalam bentuk apa pun.

Oleh karena itu, pengamanan di Laut Sulu, Filipina, menjadi topik penting dalam The 3rd Trilateral Defence Ministers Meeting di Nusa Dua, Bali, pada 1-2 Agustus 2016. Indonesia ingin agar Malaysia dan Filipina mengimplementasikan kerja sama trilateral.
Forum tersebut merupakan kelanjutan agenda sebelumnya, yakni pertemuan pertama di Laos di sela-sela forum ASEAN Defense Minister Meeting (ADMM) Mei 2016 dan pertemuan kedua di Filipina pada Juni 2016 lalu.

Ketiga negara telah menandatangani framework of arrangement (FoA) tentang pentingnya merealisasikan implementasi kerja sama trilateral dalam Joint Working Group di Jakarta pada 14 Juli lalu.

FoA berisi prosedur patroli maritim trilateral di perairan perbatasan ketiga negara. “Kerja sama itu untuk menghadapi tantangan keamanan perairan perbatasan yang mulai marak terganggu,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu.

Ketiga negara sangat berkepentingan dengan keamanan di Laut Sulu karena kelompok Abu Sayyaf kerap merompak dan menyandera.


Posko militer

Lebih lanjut Ryamizard mengusulkan pembentukan posko militer bersama dan latihan militer bersama baik di laut maupun di darat. Pembentukan posko bersama diharapkan mempermudah koordinasi dan distribusi informasi intelijen.

“Ketiga negara perlu mengeluarkan deklarasi bersama bagi dimulainya implementasi kerja sama patroli di lapangan.” (I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya