Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
KOORDINATOR Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan aparat penegak hukum untuk menelusuri informasi yang diungkapkan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman.
Presiden Jokowi, kata dia, akan terkesan membiarkan peredaran narkotika merajalela jika informasi tersebut tidak ditindaklanjuti sama sekali.
"Kok suaranya enggak ada? Kok enggak ketahuan gesturnya (Jokowi). Jika informasi ini dibiarkan begitu saja, mohon maaf, ini berarti Presiden membiarkan perkembangan narkoba," ujar Haris dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (29/7).
Sebelumnya, Haris menuliskan pengakuan Freddy Budiman kepadanya di sejumlah media sosial. Tulisan bertajuk 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit' itu segera viral di dunia maya.
Dalam tulisannya, Haris mengisahkan bertemu Freddy di LP Nusakambangan pada 2014 lalu. Pertemuan Haris difasilitasi Sitinjak Liberty, Kepala LP Nusakambangan ketika itu. Dalam pertemuan itu, Freddy mengungkapkan keterlibatan aparat Badan Narkotika Nasional (BNN), petinggi Polri, dan TNI dalam membantu bisnis haramnya.
Selama beberapa tahun bekerja menyelundupkan narkoba, Freddy mengaku telah menyetor duit sebesar Rp450 miliar kepada BNN dan sebesar Rp90 miliar kepada pejabat tertentu di Polri.
"Dalam salah satu penyelundupan, Freddy bahkan menggunakan mobil jenderal TNI bintang 2 dari Medan ke Jakarta dengan kondisi bagian belakang mobil penuh dengan narkoba," kata Haris.
Namun demikian, Freddy tidak menyebutkan nama-nama aparat penegak hukum yang terlibat memuluskan bisnis haramnya. Kata Freddy, seperti dituturkan Haris, pengakuan lengkapnya ada dalam pledoi yang dia susun di persidangan peninjauan kembali (PK) kasusnya di Mahkamah Agung (MA).
"Ketika dicek di situs MA ternyata pledoinya tidak ada. Yang ada hanya putusan saja. Di putusan pun tidak ada informasi yang diungkapkan Freddy," terang Haris.
Tidak patah arang, Haris pun mencoba mencari tahu kebenaran informasi yang diungkapkan Freddy kepada pengacaranya. Sayangnya, berita mengenai siapa dan di mana pengacara Freddy Budiman tidak bisa ia dapatkan di internet.
"Saya juga mencari informasi itu Pengadilan Negeri (Jakarta Barat) tempat Freddy disidang. Namun, pihak pengadilan tidak mau memberikan informasi mengenai persidangan Freddy," jelas Haris.
Sebelum eksekusi mati terhadap Freddy dilaksanakan pada Jumat dini hari, Haris mengungkapkan, ia sempat menghubungi Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi SP, Senin (25/7) lalu. Johan sempat meminta Haris untuk tidak membuka informasi tersebut kepada media. Haris pun berjanji kepada Johan untuk menahan informasi tersebut.
Namun demikian, hingga Kamis (28/7), tidak ada kabar dari Johan Budi. Haris pun sempat mengirimkan tulisan yang ia buat kepada Johan Budi pada hari yang sama. Sorenya, Johan menghubungi Haris dan mengatakan akan menyampaikan informasi yang Haris berikan kepada Presiden.
"Saya terpaksa melanggar janji (untuk tidak mengungkap pengakuan Freddy) tersebut demi penegakan hukum. Ini demi kepentingan yang lebih besar," cetus dia.
Kepala Advokasi Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Totok Yulianto, mengatakan, keterlibatan aparat dalam berbagai kasus narkoba bukan barang yang baru. Dari 162 kasus yang ia advokasi misalnya, sebanyak 95 terpidana mengaku menggunakan jalur '86'. Kongkalikong dengan aparat penegak hukum kerap dipilih demi memudahkan proses hukum para terpidana.
"Sebanyak 95 kasus itu pakai '86'. Biasanya dalam bentuk pengurangan barang bukti supaya meringankan hukuman, dan cara-cara lainnya. Itu di kepolisian, belum lagi di lapas," terang dia.
Ia menambahkan, informasi yang diungkapkan Haris seharusnya menjadi momentum untuk mengungkap keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus-kasus narkotika di berbagai tingkatan. (OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved