Indonesia Mesti Pegang Komando

Erandhi Hutomo Saputra
29/7/2016 06:00
Indonesia Mesti Pegang Komando
(AFP)

INDONESIA secara berturut-turut didera masalah pembajakan, perompakan, dan perampokan bersenjata dalam beberapa bulan terakhir.

Anggota Komisi I DPR Charles Honoris berpandangan Indonesia mesti memegang komando guna mencegah hal itu terus berulang.

"Pemerintah bisa jadi insiator untuk membangun kerangka regional melawan kejahatan maritim yang meliputi kewajiban negara ASEAN untuk menekan angka perompakan, menangkap pelaku, dan pengaturan joint patrol di titik-titik perompakan," kata Charles.

Ia menjadi pembicara dalam diskusi Problematika Penanganan Perompakan dan Perampokan Bersenjata pada Kapal di Asia Tenggara di Universitas Paramadina, Jakarta, kemarin.

Hadir pula pada acara itu Guru Besar Politik Internasional UPH, Aleksius Jemadu, dan Direktur Imparsial Al Araf.

Charles menambahkan, seluruh negara di ASEAN, khususnya Indonesia, semestinya meratifikasi International Convention Againts the Taking of Hostages 1979 dan Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA).

Konvensi tahun 1979 itu melarang kebijakan membayar uang tebusan, sedangkan konvensi SUA 1988 memungkinkan negara-negara di ASEAN memperlakukan pembajakan sebagai kejahatan universal.

Ia pun meminta pemerintah mengubah anggaran pos pertahanan di APBN 2017.

Saat ini, dengan anggaran pertahanan Rp95,92 triliun, TNI Angkatan Laut hanya mendapat postur Rp16,8 triliun atau 17% dari total anggaran.

"Kita perlu mengevaluasi pos anggaran karena sebagai negara kelautan, kita punya visi besar sebagai poros maritim dunia. Bakamla saat ini pun hanya mendapat anggaran Rp326 miliar dengan 7 kapal penegakan hukum. Di laut, kondisi ini tidak akan efektif," tegas politikus PDIP itu.


Negosiasi rahasia

Guru Besar Politik Internasional UPH Aleksius Jemadu berpendapat masalah kejahatan maritim dalam jangka pendek bisa diatasi dengan melakukan negosiasi rahasia dengan Abu Sayyaf melalui peran intelijen dengan Nur Misuari.

Untuk jangka panjang, Aleksius meminta pemerintah memperjelas perjanjian tiga negara yang telah dilakukan Indonesia.

Selama ini, kerja sama yang dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Filipina masih abu-abu.

Pemerintah juga didorong melakukan pendekatan dengan cara budaya di Filipina Selatan melalui ormas atau civil society.

"Meningkatkan people to people interactions di Filipina Selatan minimal dengan mengajar supaya mereka tidak menganggap Indonesia musuh," ucapnya.

Direktur Imparsial Al Araf menekankan, selain pentingnya TNI-AL, peran TNI-AU juga diperlukan untuk pengamanan kawasan laut.

Namun, pemerintah sepertinya masih setengah hati dalam postur anggaran pertahanan, yaitu jatah TNI-AU tahun ini hanya 14% dari total anggaran atau Rp12,5 triliun.

Hal itu berbeda dengan anggaran TNI-AD yang Rp43,3 triliun atau sekitar 45% dari total anggaran.

Padahal, wilayah Indonesia didominasi lautan. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya