Mahfud MD Sebut IPT bukan Pengadilan Resmi

Antara
21/7/2016 22:06
Mahfud MD Sebut IPT bukan Pengadilan Resmi
(ANTARA FOTO/Akbar Nugroho)

MANTAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai putusan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada 1965 tidak bersifat mengikat sehingga tidak memiliki pengaruh bagi negara.

"IPT itu bukan pengadilan (resmi) dan keputusannya tidak mengikat. Sama sekali tidak mengikat," ujar Mahfud saat ditemui seusai rapat di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, Kamis (21/7) malam.

Ia menjelaskan dalam sistem hukum di Indonesia hanya dikenal dua macam pengadilan pidana, yakni pengadilan internasional di bawah kewenangan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan pengadilan negara di dalam negeri masing-masing.

"Pengadilan pidana itu hanya dua, pengadilan negara dan internasional. ICC dan pengadilan negara di negaranya masing-masing, kalau di Indonesia itu MA (Mahkamah Agung). IPT itu liar," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Terkait wacana Yayasan IPT 1965 untuk membawa hasil putusan majelis hakim IPT ke Dewan HAM PBB, Mahfud menganggapnya sebagai sebuah kewajaran karena setiap orang berhak mengajukan laporan ke PBB.

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan meminta masyarakat Indonesia terutama generasi muda untuk tidak melihat kelemahan bangsa ini pada masa lalu.

"Tidak ada bangsa atau siapa pun yang sempurna. Pasti ada kurang lebihnya, tapi kita lihat yang besarnya, bangsa Indonesia sekarang sedang bagus-bagusnya," kata dia.

Luhut juga meragukan putusan IPT yang menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1965-1966, pemerintah Indonesia telah membunuh 400-500 ribu warga negara yang dianggap anggota atau berafiliasi dengan PKI.

"Kalau ada yang kurang-kurang seperti tadi itu, kita harus bersama bilang tidak, itu tidak betul. Di mana ada 400 ribu (orang) mati," katanya.

IPT 1965 akan menyerahkan keputusan akhir kepada pemerintah Indonesia, usai sidang yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 dan dipimpin Hakim Ketua Zak Yacoob.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (20/7), Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.

"Putusan ini secara resmi akan diserahkan pula kepada Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kantor Staf Presiden," ujar Nursyahbani.

Putusan tersebut mencakup tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia yakni pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar Undang-Undang KUHP Pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua ialah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.

Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.

Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.

Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan. Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.

"Para pegiat IPT 1965 akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk menyosialisasikan putusan ini. Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss, kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia. (OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya