ICW: Kasus Pohan Bukti Pemilu Akar Korupsi

Arif Hulwan
21/7/2016 20:10
ICW: Kasus Pohan Bukti Pemilu Akar Korupsi
(ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)

TANPA mendahului proses hukum, penetapan bekas calon Wali Kota Medan Ramadhan Pohan sebagai tersangka penipuan dana merupakan bukti kuat dugaan hubungan antara proses Pemilihan Umum (Pemilu) dan korupsi di pemerintahan. Laporan dana kampanye pasangan calon pun didesak jadi milik publik seutuhnya.

"Kasus Ramadhan Pohan ini tidak bisa dilepaskan dengan problem elektoral. Kalau uang yang ia pinjam sampai puluhan miliar, ini cost politik begitu tinggi, walau negara biayai empat dari tujuh item kampanye. Niat pembatasan dana kampanye faktanya tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di lapangan," papar Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz di Jakarta, Kamis (21/7).

Donal tidak ingin berandai-andai terlalu jauh soal penggunaan uang yang dipinjam Wakil Sekjen Partai Demokrat itu dari Laurenz Henry Hamonangan Sianipar dan RH Simanjuntak.

Namun, momentum peminjaman uang di tengah tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Medan itu mengingatkan tentang pentingnya transparansi Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

Pengalaman ICW meminta tiga jenis laporan untuk Pilkada 2015 itu, kata dia, tidak semua KPUD menyerahkannya dengan sukarela. Ada yang menganggapnya sebagai data rahasia. Padahal, dilihat dari kategori dokumen yang bukan merupakan bahan penyelidikan dan penyidikan, maka data itu ialah data publik.

Dari dokumen yang didapat pihaknya, banyak temuan berupa perbedaan signifikan antara pemasukan awal dana kampanye dan pengeluarannya.

"Kami usul ada PKPU yang mengatur laporan-laporan itu jadi dokumen terbuka. Banyak laporan keuangan abal-abal. Supaya semua bisa memantau," ungkap dia.

Salah satu tahapan yang butuh pendanaan besar ialah pengusungan calon oleh partai politik (parpol). Menurut Donal, selalu ada hal yang ditukarkan antara calon dan parpol. Kebanyakan berupa uang mahar atau uang perahu.

Dari pengalaman aktivis Sebastian Salang yang hendak mencalonkan diri di Kabupaten Manggarai, NTT, uang mahar itu minimal Rp2 miliar. Selain integritas minim, pendanaan parpol yang minim dari negara jadi salah satu pendorong suap itu.

"Kalau ada parpol yang deklarasikan tidak menerima mahar menurut saya bohong sekali. Memang, ada beberapa daerah bentuknya bukan mahar uang, tapi trade-off-nya harus jadi Ketua DPC kalau menang. Pemilik partai yang kaya ingin bangun dulu kaki tangannya di daerah," cetus Donal.

Selain itu, dana besar keluar saat tahapan pembelian suara. Sistemnya bisa berupa prabayar (dicairkan saat sebelum pencoblosan), dan pascabayar (dicairkan saat sudah dipastikan ada jumlah suara tertentu yang didapat). Pemilih pun, aku Donal, cenderung tidak peduli dengan sosialisasi menolak suap.

Dengan pola-pola pendanaan tahap kampanye semacam itu, ia percaya perlunya aturan turunan UU Pilkada yang menjerat praktek politik uang lebih jauh.

"Sulit untuk tidak dikatakan Pemilu ini akar korupsi politik. Karena para calon ini akan menjabat, kemudian mencari pendanaan ilegal lain untuk balik modal," tutupnya. (OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya