Selamat Mudik, Mudiklah dengan Selamat

Anies Baswedan, Mendikbud
04/7/2016 07:26
Selamat Mudik, Mudiklah dengan Selamat
(ANTARA/Nyoman Budhiana)

HARI-hari ini, ada jutaan orangtua bersiap di rumah, bersiap menyambut anak-anak mereka pulang. Benak mereka dibayangi wajah anak-anak mereka ketika kecil, ketika mulai tumbuh dewasa. Anak-anak yang kemudian berangkat meĀ­rantau, berangkat untuk berjuang merebut masa depan yang lebih baik.

Sementara itu, orangtua tetap di rumah, tetap di kampung halaman. Di dalam sujud, mereka mendoakan setiap langkah dan usaha anak-anak mereka di perantauan. Tidak cukup kata untuk menggambarkan bagaimana bahagianya para orangtua itu menyambut kedatangan anak-anak mereka dari perantauan, mereka datang bersama menantu dan cucu-cucu.

Persiapan penyambutan bisa jadi sudah dimulai sejak pertengahan bulan puasa, mulai dari membersihkan rumah, masak ketupat-lontong, hingga menyiapkan kamar untuk dipakai saat Lebaran. Semua demi menyambut anak-anak mereka, yang mungkin hanya bisa pulang kampung setahun sekali, ketika Lebaran tiba.

Malam sudah larut, dua hari sebelum Lebaran, dalam perjalanan mudik menuju Yogyakarta, saya duduk di sisi kiri mobil memperhatikan arus mudik yang amat deras itu. Setiap motor yang disalip, saya lihat pelat nomornya, lalu lihat jumlah penumpang motornya, lalu lihat barang bawaannya. Luar biasa, sungguh luar biasa!

Belum jauh selepas daerah Cikampek, Jawa Barat, melewati sebuah motor berpelat nomor N, bapak-ibu dengan 2 anak dalam satu motor. Kode N itu ialah kendaraan dari daerah Malang, sebelah selatan Surabaya, Jawa Timur.

Malam itu gelap, hujan, dan tentu dingin. Mereka tetap jalan terus. Bisa jadi ada yang tidak setuju dengan moda transportasi berisiko yang harus mereka pilih, tetapi satu hal yang pasti, mereka tangguh, mereka pantang menyerah. Mereka tak berkeluh kesah, tak cengeng, tak banyak bicara. Mereka jalani hidup, jalani mudik dengan keapaadaannya. Ya, lagi-lagi kita lihat bukti tambahan bahwa ibu kita di Republik ini masih tetap melahirkan dan membesarkan orang-orang tangguh!

Hampir semua berangkat ke Jakarta dengan niat yang kurang lebih sama: ingin lebih sejahtera. Setiap akhir Ramadan, hampir semua pulang kampung dengan niat yang kurang lebih sama: ingin kumpul bersama keluarga.

SAYA bayangkan luapan kebahagiaan orangtua itu di mana-mana sama. Bukan karena oleh-oleh yang akan mereka terima, bukan karena tampilan mereka, melainkan karena kepulangan anak-anak mereka itu. Tidak lagi penting anak pulang naik motor, atau bus, atau kereta atau pulang naik mobil atau pesawat.

Momen yang ditunggu-tunggu ialah saat anak-anak mereka sampai di depan rumah, saat anak-anak mereka kembali ke tempat mereka main saat kecil. Momen saat berhamburan saling memeluk, bersalaman dalam dekapan keluarga.

Momen itu tidak ternilai. Melihat ribuan motor di sepanjang jalan malam itu, ada rasa yang bercampur: bangga, iba, bahagia, dan hormat. Semua menjalani ritual pulang kampung dengan apa adanya.

Tugas moral kita hari ini ialah memastikan bahwa anak-anak yang sekarang dibonceng motor dari Jakarta melintasi pesisir Pulau Jawa itu meraih pendidikan berkualitas, sebuah eskalator yang bisa mengubah nasib dan mengubah masa depan.

Mudah-mudahan anak-anak itu kelak bisa mudik dengan nyaman. Mereka kelak duduk di ruang tunggu bandara sambil bercerita nostalgia pada anak-anak mereka, tentang masa kecil mereka di atas motor setiap pulang Lebaran. Jika itu bisa terjadi, lunaslah sebuah bait dari janji kemerdekaan: mencerdaskan dan menyejahterakan.

Buat teman-teman yang merayakan Lebaran di kampung halaman: selamat mudik. Perjalanan mudik yang melelahkan harus tetap bisa berubah jadi perjalanan yang mengesankan.

Ingat, setiap putaran roda ialah denyut penantian orangtua dan keluarga. Hati-hatilah dalam perjalanan. Kurangi kecepatan kendaraan, kurangi risiko kecelakaan. Jangan lupa, alamat tujuan mudik ialah ke rumah orangtua, bukan ke rumah sakit.

Di kampung halaman, orangtua sedang menunggu. Di kampung halaman, mereka sedang mendoakan. Tiap ada deru suara kendaraan berhenti, mereka bergegas ke serambi berharap anak mereka telah tiba. Tiap ada suara ketukan pintu depan, mereka melonjak bahagia berharap anak mereka di depan pintu.

Saat pintu dibuka, saat berhamburan anak-cucu memeluk, di sanalah kebahagiaan orangtua menjulang tanpa batas. Anaknya telah pulang, anaknya kembali ke kerahiman ibu dan ayahnya.

Di mata ibu yang basah itu mengalir cinta tanpa batas seorang ibu kepada anak cucunya. Jauhkan mereka dari rasa tegang apalagi duka. Hampiri orangtua dan keluarga di kampung halaman dengan membawa kebahagian.

Selamat mudik. Mudiklah dengan selamat.

Tol Palimanan, exit Ciperna, 7 September 2010.
(Ditulis ulang dari tulisan lama yang dibuat saat menjalani kemacetan di perjalanan mudik 2010, 6 tahun lalu).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya