Hati-Hati Libatkan Militer di Terorisme

Gol/P-2
30/6/2016 06:05
Hati-Hati Libatkan Militer di Terorisme
(MI/MOHAMAD IRFAN)

PEMERINTAH dan DPR diingatkan untuk berhati-hati dalam merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Harapannya agar jangan sampai revisi justru malah menjadi langkah mundur karena pelibatan militer yang berlebihan.

Menurut peneliti terorisme Hermawan Sulistyo, teror sesuai definisinya ialah membangkitkan ketakutan.

Namun, teror bukanlah perang karena yang jadi sasaran ialah masyarakat sipil sehingga keterlibatan militer pun harus dibatasi.

"Karena (teror) ranah sipil, itu harus ada proses hukum. Harus ada akuntabilitasnya mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya," ujar Hermawan dalam diskusi bertema Arah revisi undang-undang tindak pidana terorisme di pressroom DPR.

Ia menegaskan upaya pemberantasan teror juga bukanlah perang.

Karena itu, pemberantasan teror jangan ditarik ke sektor pertahanan.

Ia justru memuji Polri yang sebenarnya sudah maju dalam mengatasi teror.

Salah satu contohnya ialah insiden bom Thamrin.

"Siapa bilang bom Thamrin itu kecolongan? Dua menit setelah insiden pertama sudah ada tembak-tembakan. Ternyata ada dua bom yang lebih besar tidak meledak," jelasnya.

Anggota Pansus RUU Antiterorisme Sarifuddin Sudding mengatakan terorisme memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa.

Namun, politikus Hanura itu tetap berpendapat bahwa pelibatan TNI tetap harus dibatasi.

"Ingat, undang-undangnya menyebut TNI hanya membantu, sedangkan pemberantasan (kewenangan penindakan) tetap ada di polisi."

Di sisi lain wacana pembentukan tim pengawas dari internal DPR terkait operasional Detasemen Khusus 88/ Antiteror Polri dipandang tidak efektif.

Fungsi pengawasan legislatif bersifat umum dan tidak bisa diterapkan terhadap kinerja Densus 88 yang sangat mendetail.

"Tidak bisa mengandalkan cara kerja DPR yang sudah lazim, umum, seperti mengawasi pemerintah. Densus (88) tidak bersifat umum, tapi harus detail, khusus, sehingga memerlukan satu badan khusus agar pengawasannya efektif," kata Ketua Komnas HAM Imdaddun Rahmat.

Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani pun setuju jika DPR lebih elok melakukan pengawasan dengan mengefektifkan mandat dan peran Korps Bhayangkara. (Gol/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya