Eddy Sindoro Disebut Pemberi Restu Suap Panitera PN Jakpus

Erandhi Hutomo Saputra
29/6/2016 15:06
Eddy Sindoro Disebut Pemberi Restu Suap Panitera PN Jakpus
()

PERKARA suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution akhirnya memasuki persidangan dengan terdakwa pegawai PT. Artha Pratama Anugrah, Doddy Aryanto Supeno.

Dalam sidang dakwaan tersebut, nama Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro disebut berperan sebagai pemberi restu upaya penyuapan kepada Edy Nasution. Upaya penyuapan tersebut berkaitan dengan beberapa perkara yang dialami anak perusahaan Lippo Group di PN Jakpus yakni PT. Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT. Across Asia Limited (PT. AAL).

Dua anak perusahaan Lippo tersebut sedang terlibat perkara niaga antara PT. MTP dengan PT Kwang Yang Motor Co.Ltd (PT. Kymco) dan PT. AAL dengan PT. First Media.

Terkait perkara PT. MTP, berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre (SIAC) di perkara No. 62/2013 tanggal 1 Juli 2013, PT. MTP dinyatakan mengingkari janji atau wanprestasi sehingga wajib membayar ganti rugi ke PT. Kymco sebesar US$11,1 juta.

Akibat tidak kunjung dibayar, PT. Kymco mendaftar ke PN Jakpus agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia hingga akhirnya PN Jakpus memanggil PT. MTP pada 1 September 2015 dalam sidang aanmaning (peringatan kepada tergugat untuk melaksanakan putusan). Namun PT. MTP tidak hadir dalam sidang tersebut sehingga dijadwalkan ulang pada 22 Desember 2015.

Mengetahui panggilan aanmaning, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti Kristian Hesti untuk melobi menunda aanmaning. Wresti lalu menemui Edy Nasution di PN Jakpus pada 14 Desember 2015 dan meminta untuk menunda aanmaning hingga Januari 2016. Edy Nasution bersedia melakukannya dengan imbalan uang Rp100 juta. Dalam dakwaan, Wresti secara sengaja diangkat Eddy Sindoro untuk melakukan pendekatan dengan pihak yang terkait perkara Lippo Group.

“Kemudian Wresti meminta persetujuan Eddy Sindoro bahwa uang Rp100 juta akan diminta dari Hery Soegiarto (Direktur PT. MTP) dan Eddy Sindoro menyetujuinya,” ujar Jaksa KPK Fitroh Rohcahyanto saat membaca dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6).

Uang tersebut kemudian tidak diserahkan kepada Wresti melainkan ke Doddy untuk kemudian diberikan kepada Edy Nasution pada 18 Desember 2015 di Hotel Acacia Jakarta. Doddy juga diangkat oleh Eddy Sindoro untuk menyerahkan dokumen dan uang kepada pihak yang terkait perkara.

Terkait perkara PT. AAL dengan PT. First Media, Eddy Sindoro juga memberikan restunya untuk menyuap Edy Nasution Rp50 juta dalam upaya pemaksaan peninjauan kembali (PK) oleh PT. AAL yang sebenarnya sudah melewati batas waktu PK selama 180 sesuai Pasal 295 ayat (2) UU No.37/2004 tentang Kepailitan. Dalam kasus itu, PT. AAL dinyatakan pailit oleh MA berdasarkan putusan kasasi tanggal 31 Juli 2015. Namun Eddy Sindoro memutuskan untuk melakukan PK pada pertengahan Februari 2016 kepada Wresti. Upaya PK itu bertujuan untuk menjaga kredibilitas PT. AAL yang juga tengah didera kasus di Hongkong.

Wresti kemudian menemui Edy Nasution pada 16 Februari 2016 di PN Jakpus dan meminta Edy untuk menerima gugatan PK PT. AAL meski sudah lewat tenggat. Pada awalnya Edy menolak namun Wresti menjanjikan sejumlah uang hingga akhirnya Edy bersedia menerima gugatan.

“Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dimana Eddy Sindoro menyetujui dan menyampaikan uang akan disediakan oleh Ervan Adi Nugroho (Presiden Direktur PT. Paramount International),” jelas Jaksa Fitroh.

PK pun didaftarkan di PN Jakpus pada 2 Maret 2016. Adapun sebelum berkas PK dikirim ke Mahkamah Agung (MA) pada 30 Maret 2016, Sekretaris MA Nurhadi menghubungi Edy Nasution dan meminta agar berkas PK PT. AAL segera dikirim ke MA.

Uang yang dijanjikan pun akhirnya diberikan kepada Edy oleh Doddy sebesar Rp50 juta pada 20 April 2016 di Hotel Acacia Jakarta hingga usai penyerahan uang keduanya ditangkap oleh petugas KPK.

Dalam perkara ini Doddy didakwa bersama-sama dengan Wresti Kristian Hesti, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto, dan Eddy Sindoro melakukan suap seluruhnya Rp150 juta kepada Edy Nasution. Atas perbuatannya Doddy didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentangp perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Eddy Sindoro hingga saat ini telah dua kali tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa. Ia pun masih berstatus saksi meski telah dicegah ke luar negeri selama 6 bulan sejak 28 April 2016.

Saat diminta Ketua Majelis Hakim Sumpeno untuk menanggapi dakwaan Jaksa KPK, Pengacara Doddy, Ani Andriani mengajukan nota keberatan (eksepsi) yang akan dibacakan pada 11 Juli mendatang. Saat ditanya usai persidangan apakah Doddy hanya sebagai perantara atau pemeran utama, Ani enggan menjawab.

“Nanti biar dilihat di keberatan (eksepsi) kami tanggal 11 (Juli),” ucap Ani singkat. (X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Victor Nababan
Berita Lainnya