Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PENUNJUKAN Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri merupakan sebuah terobosan langka.
Selama ini calon-calon Kapolri hampir selalu dipilih dari golongan jenderal paling senior atau via urut kacang senioritas.
Semakin polisi itu menjadi senior, semakin besar pula peluangnya menjadi Kapolri.
Tito memang bukan polisi junior pertama yang melangkahi para senior Polri.
Pada pergantian Kapolri 1996, Jenderal Dibyo Widodo yang berstatus alumni Akademi Polisi (Akpol) 1968 melangkahi seniornya Roesmanhadi yang merupakan angkatan Akpol 1969.
Pada 2001, Jenderal Da'i Bachtiar yang lulus Akpol pada 1972 melewati Adang Daradjatun (Akpol 1971).
Bedanya, Tito langsung melompati empat angkatan di atasnya.
Tito tercatat sebagai lulusan Akpol 1987, sedangkan Kapolri Badrodin Haiti merupakan alumnus 1982.
Artinya, semakin banyak jenderal senior yang Tito sisihkan untuk menempati kursi Tribrata 1.
Namun, terpilihnya Tito justru menunjukkan kejelian Presiden Joko Widodo.
Seperti tidak terpengaruh tradisi atau aturan soal senioritas dan kepangkatan di Polri, Jokowi menentukan pilihan berbasis meritrokasi.
Dalam meritokrasi, prestasi dan kapabilitas jadi tolok ukur utama.
Tito unggul di berbagai sisi.
Sosok Tito bisa dibilang versatile atau serbabisa.
Sebelum didapuk sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Tito tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88, Kapolda Papua, dan Kapolda Metro Jaya.
Selain isu-isu lainnya, penanganan terorisme dan isu keamanan Papua bisa dibilang merupakan dua isu yang setidaknya harus dikuasai seorang calon Kapolri.
Kedua isu itu kerap menjadi duri dalam kinerja Polri.
Di sisi akademik, Tito juga moncer. Tito merupakan penerima bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan Akpol terbaik.
Pada 1993, Tito menyelesaikan pendidikan di University of Exeter di Inggris dan meraih gelar MA dalam bidang police studies.
Terakhir, Tito meraih gelar Phd dari Nanyang Technological University, Singapura, pada 2013.
Sepertinya bukan hanya Jokowi yang sadar akan kualitas Tito.
Senior Polri yang lain pun legawa kursi Kapolri jatuh ke tangan pria kelahiran 26 Oktober 1964 itu.
Toh, hingga kini belum ada komentar bernada sumbang soal Tito.
Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK menyatakan rekam jejak keuangan Tito bersih.
Terpilihnya Tito yang berbasis meritokrasi sejatinya dapat dijadikan inspirasi bagi jajaran Polri lainnya. Tito membuktikan, asalkan berkinerja baik, bukan mustahil jabatan tinggi didapat.
Jika hal ini diteladani semua perwira polisi hingga jajaran terbawah, beban kerja Tito dalam mereformasi Polri bakal lebih ringan.
Selain membenahi institusi Polri, Tito juga punya segudang pekerjaan rumah.
Komisi III DPR, koalisi masyarakat sipil, hingga para pengamat ramai-ramai menaruh harapan kepada Tito.
Tito diminta memperbaiki pelayanan polisi, menjawab isu HAM dalam penanganan terorisme, menghentikan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan, dan turut serta memberantas korupsi.
Publik memberikan dukungan besar kepada Tito untuk menuntaskan beban kerja yang berat itu.
Karena itu, dukungan dari internal Polri pun harus sama besarnya.
Kinerja dan prestasi harus jadi prioritas.
Polri harus membuktikan ada banyak 'Tito' di Korps Bhayangkara.
Era meritokrasi di tubuh Polri tak boleh berhenti di Tito saja. (Christian Dior Simbolon/P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved