Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
DRAF perubahan materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terbukti hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan institusi negara dalam melawan terorisme, sedangkan korban yang menjadi subjek paling esensial dari aksi terorisme justru luput dari perhatian.
Draf perubahan UU Terorisme yang didorong pemerintah ke DPR saat ini tengah dibahas tim kecil di Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Terorisme.
RUU itu pun terkesan tidak fair karena hanya menambahkan aturan rehabilitasi dan komprehensif bagi para pelaku.
Respons pemerintah ternyata hanya melulu pada bagaimana cara untuk menangkap, mengadili, dan mencegah para pelaku melancarkan aksi terorisme.
Alhasil, kondisi tersebut menjadi ironi di tengah duka yang mendera para korban terorisme selama ini.
Aksi terorisme terjadi lantaran negara gagal menjalankan kewajiban dalam hal jaminan perlindungan keamanan terhadap setiap warganya.
Oleh karena itu, sejatinya pemerintah perlu hadir dan bersedia memberikan pemenuhan hak bagi para korban.
Hak korban berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, telah diatur dalam UU 15/2003 serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim, dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
Regulasi tersebut sedianya menekankan pada ketentuan hak yang hanya diberikan kepada korban atau ahli warisnya.
Namun, dalam realisasinya sulit diterapkan lantaran ada aturan lain tentang pembiayaan atas pembayaran kompensasi yang dibebankan kepada negara, hanya boleh melalui proses peradilan.
Hal itu sekaligus mempertegas bahwa reaksi pemerintah terhadap kasus terorisme dapat dinilai dari nihilnya dasar regulasi penanganan korban.
Bahkan, hingga saat ini tidak ada peraturan pelaksana terhadap minimnya cakupan regulasi yang menjadi penghambat ketika akan diterapkan.
Faktor lain yang mungkin menjadi alasan urungnya pemenuhan hak korban dimasukkan draf revisi UU Terorisme ialah soal definisi korban.
Pemerintah sepertinya belum memiliki sebuah rumusan final yang bisa memastikan siapa saja yang berhak disebut sebagai korban.
Reparasi terhadap korban dengan pemberian hak kompensasi sudah sepatutnya dimasukkan draf revisi UU Terorisme.
Korban yang selama ini bertahan hidup dengan kondisi fisik cacat tidak boleh dibiarkan terus menderita.
Negara harus hadir dengan sebuah ketegasan dan mampu menjawab asa korban yang telah lama terpendam.
Kompensasi, rehabilitasi medis, dan psikis, serta pemberian bantuan lain harus segera diberikan.
Revisi UU Terorisme yang sedang diproses DPR dan pemerintah harus dibuat berdasarkan kepentingan bangsa tanpa menggugurkan aspirasi korban.
Tujuannya untuk memberantas terorisme, melindungi korban terorisme, dan bukan menjadikan korban terorisme terus sebagai korban yang tidak jelas penyelesaiannya. (Golda Eksa/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved