Pangkas Mekanisme Ganti Rugi yang Berbelit

Kim/P-3
20/6/2016 01:15
Pangkas Mekanisme Ganti Rugi yang Berbelit
(Grafis--MI)

REVISI UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memunculkan harapan tentang pengaturan hak-hak korban akibat aksi terorisme maupun aksi koboi aparat antiteror.

Negara pun tak setengah hati menggelontorkan dana. Mekanisme ala dana tanggap darurat disiapkan.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, saat ditemui di Jakarta, pekan lalu, mengungkapkan pihaknya tidak bisa sendirian memperjuangkan nasib para korban terorisme.

Berbagai hambatan aturan menghadang.

Karena itu, ia mengusulkan beberapa isu yang mesti masuk di revisi UU tersebut terkait dengan hak korban.

Pertama, pengaturan mekanisme ganti rugi bagi korban.

UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) pada dasarnya sudah secara rinci mengatur persoalan ganti rugi.

Itu meliputi kompensasi (ganti rugi dari negara), restitusi (ganti rugi dari pelaku atau pihak ketiga), dan rehabilitasi (pemulihan pada kondisi semula).

Sayangnya, mekanisme itu belum terakomodasi dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Alhasil, ada jalur birokrasi yang terputus.

Korban terorisme mengalami kesulitan dalam menagih ganti rugi kepada pihak terkait.

Korban harus melengkapi diri dengan surat keterangan korban. Biasanya, itu dikeluarkan dari kepolisian.

Surat itu kemudian menjadi pegangan korban ke LPSK sebagai dasar permintaan ganti rugi.

Nahasnya, selain berupaya menagih sendiri, korban sering kali tidak mendapat surat tersebut dari kepolisian.

Alasannya, kepolisian hanya memiliki data korban teroris yang diwawancara sebagai saksi.

Korban yang mendapat luka parah sering kali tidak tersentuh data kepolisian.

"Korban bom Thamrin, misalnya, ada yang kita talangin. Padahal, pas peristiwa semua pejabat bilangnya, 'Kami siap bayar'. Tapi pas rumah sakit mau nagih bingung. Untungnya sekarang ada yang bayaran, entah siapa. Makanya ini perlu dipermudah dan diperjelas pengaturannya," ujar Semendawai di Jakarta, akhir pekan lalu.

Kedua, penyederhanaan alur ganti rugi.

Menurut Semendawai, jika dikabulkan, permohonan surat keterangan dari kepolisian itu kemudian diserahkan korban kepada LPSK.

Lembaga terakhir lantas menyerahkannya kepada kejaksaan.

Pihak penuntut kemudian membawanya ke pengadilan. Hakim kelak memutuskan besaran ganti rugi bagi korban.

Proses semacam itu dianggap terlalu lama.

Korban yang luka tidak segera mendapatkan bantuan.

Ia menyarankan agar revisi UU Terorisme mengatur ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk langsung mengeluarkan ganti rugi tanpa proses rumit.

Pihaknya siap mengemban tugas itu.

"Korban jadi mengalami kerugian ganda. Kita usung supaya tidak lewat pengadilan. Harus ada kepastian," kata dia.

Ketiga, perjelas cara pendanaan ganti rugi.

Selama ini LPSK masih menggunakan dana anggaran lembaga.

Sementara itu, jatuhnya korban terorisme tidak bisa diduga waktu dan jumlahnya.

Di sisi lain, anggaran LPSK terbatas.

Tahun ini saja, anggaran pihaknya dipotong sekitar Rp7,4 miliar akibat penghematan pemerintah.

Ia menyodorkan solusi lewat pengaturan ganti rugi korban di revisi UU Terorisme lewat dana tanggap darurat seperti halnya BNPB.

Jika disetujui, LPSK akan bisa meminta bantuan ganti rugi lewat Rekening Nomor 99 di Kementerian Keuangan.

"Sementara saat ini korban yang kita berikan layanan jumlahnya ribuan. Dan kita tidak hanya satu kali obati selesai. Anggaran 99 ini sewaktu-waktu diperlukan (dipakai) tanpa mengganggu proporsi anggaran yang sudah diberikan," ucap Semendawai.


DPR setujui

Karena melihat permasalahan tersebut, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Terorisme Muhammad Syafi'i sepakat memasukkan ketentuan yang menaungi hak-hak korban dalam revisi.

Pasalnya, negara harus bertanggung jawab terhadap warga.

"Rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi kurang dapat sentuhan. Kita akan atur di pasal tertentu di revisi UU ini," jelasnya.

Menurutnya, UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) memang sudah mengatur jelas soal pemberian ganti rugi terhadap korban, termasuk korban terorisme.

Akan tetapi, UU 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme seolah tidak mendukungnya.

"Jadi tidak efektif karena belum ada instruksi dari UU induknya, UU Terorisme. Mereka (LPSK) sudah menyiapkan segala yang diperlukan, tapi mengeksekusinya kan masih butuh penetapan. Yang memberikan rehabilitasi, bantuan ke korban siapa, yang menetapkan itu korban siapa, kan mesti ada," kata Syafi'i.

Salah satu pola ganti rugi, atas usulan LPSK, yang kemungkinan diakomodasi di revisi UU Terorisme ialah pengaturan khusus di satu pasal yang menyebutkan bahwa penanganan korban terorisme merujuk ke UU PSK.

Sebab, di UU tersebut sudah jelas pengaturannya.

"Harus ada juga assessment bahwa semua rumah sakit wajib menangani korban teroris dan mintakan tagihannya ke negara. Itu mesti diatur jelas di pasal tertentu," papar politikus Partai Gerindra itu.

Wakil Ketua Pansus Revisi UU Terorisme, Hanafi Rais menimpali, mengatakan pihaknya juga bakal mengatur pengawasan terhadap Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri agar tidak menimbulkan lebih banyak korban yang jatuh tanpa proses peradilan.

"Harus ada audit keuangan dan SOP (standar prosedur operasi) terhadap aparat. Karena yang kita harapkan dari revisi UU Terorisme ini ialah melahirkan regulasi yang menyejukkan, bukan memunculkan terorisme baru," tukasnya. (Kim/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya