Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
TRAGEDI bom bunuh diri pada 5 Agustus 2003 di lobi Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta Selatan, masih menyisakan duka mendalam bagi Vivi Normasari, 45.
Bayangan kelam seakan tidak pernah lepas dari ingatannya, terlebih saat melihat sebuah bola api berukuran besar mengempaskan tubuhnya.
Peristiwa berdarah itu menewaskan 12 orang dan mencederai 150 korban lainnya.
Dalam perbincangan dengan Media Indonesia, beberapa waktu lalu, Vivi mengaku sempat mengalami periode sulit akibat tragedi tersebut.
Selain menderita luka serius di beberapa bagian tubuh dan harus menjalani pengobatan fisioterapi, korban juga dihadapkan dengan beberapa kenyataan pahit, seperti kehilangan pekerjaan, menunda pernikahan, dan wajib mengikuti pemulihan trauma psikologis berkala.
Kini kesehatan Vivi telah pulih dan kehidupannya pun kembali normal.
Vivi juga berhasil mewujudkan impian untuk menikah dengan pria pujaan serta mendapat pekerjaan baru di sebuah bank swasta di Jakarta.
Terlepas dari pemulihan fisik dan psikis, Vivi menyadari negara ternyata tidak hadir untuk meringankan beban para korban.
Perhatian pemerintah hanya berlaku saat insiden dengan memberikan pengobatan ala kadarnya.
Korban yang masih membutuhkan perawatan berkala justru terabaikan.
"Ini tidak adil. Kita dibiarkan sendiri seperti dalam hal menanggung biaya rumah sakit. Negara tidak ada kepedulian atas musibah yang menimpa kami," keluh Vivi lirih.
Penuturan serupa disampaikan Hayati Eka Laksmi, 45, istri almarhum Imawan Sardjono yang menjadi korban Bom Bali I, 12 Oktober 2002, di Jalan Legian, Kuta, Bali.
Hayati berharap pemerintah bisa memberikan perhatian, khususnya bantuan psikis dan pendidikan untuk kedua putranya.
"Bagaimana masa depan anak saya? Saya bangkit dan berharap kedua putra saya agar dewasa kelak tidak memberikan pembalasan. Kami meminta pemerintah perhatikan nasib pendidikan anak-anak para korban," pintanya.
Nanda Olivia Daniel, 32, salah satu korban ledakan di depan Kantor Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jaksel, September 2004, tidak menyangka pemerintah hanya diam dan terkesan memanfaatkan situasi kala mengetahui pihak Australia bersedia memberikan bantuan pengobatan secara penuh.
"Setelah satu bulan berada di rumah sakit di Jakarta, saya diterbangkan ke Australia untuk operasi jari tangan dan disambut aktivis di sana. Tapi, sekembalinya ke Indonesia justru tidak ada sambutan, bahkan harus membayar selisih biaya pengobatan sebelumnya."
Aksi terorisme yang telah berlangsung lama itu terbukti masih menyisakan duka bagi mereka yang terkena imbas ledakan.
Selain mengalami trauma berkepanjangan, para korban selamat juga harus bertahan hidup dengan kondisi tubuh cacat dan tidak diberi bekal pendampingan guna memulihkan kondisi psikis.
Para korban sejatinya menaruh harapan besar terhadap pemerintah melalui revisi UU Nomor UU 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sayangnya, harapan tersebut harus kandas. Pemerintah ternyata lebih mengutamakan upaya rehabilitasi komprehensif terhadap para pelaku ketimbang memikirkan nasib para korban.
Jaminan negara
Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (Aida) Hasibullah Satrawi menilai draf revisi UU 15/2003 masih lemah dan jauh dari harapan.
Hak kompensasi yang diatur dalam regulasi tersebut bukan dibuat berdasarkan perspektif korban.
"Negara tidak tahu apa yang dirasakan korban. Di sini korban meminta jaminan negara pada pembiayaan medis di masa kritis dan pemenuhan kompensasi yang tidak melalui pengadilan melainkan secara assessment," terang Hasibullah.
Pandangan senada disampaikan Deputi Direktur Eksekutif Aida Laode Arham.
Menurut dia, para korban yang kini tergabung dalam Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) terus menuntut pentingnya kehadiran negara.
Urungnya pemenuhan aspirasi itu ditengarai karena pemerintah masih gamang dengan definisi korban.
Meski tidak ada pengakuan dari pemerintah, imbuh Arham, para korban tetap berjuang demi mewujudkan Indonesia yang damai ketimbang larut dalam emosi dan rencana pembalasan.
Aida bersama YPI serta mantan pelaku aksi terorisme kini gencar menyosialisasikan pentingnya perdamaian, khususnya di kalangan anak muda.
"Aida bercita-cita membangun Indonesia yang lebih damai dengan memberdayakan para korban kekerasan terorisme serta mantan pelaku. Keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi cita-cita perjuangan yang sama, yaitu agar tidak ada lagi yang menjadi pelaku dan korban terorisme," tandasnya.
Ketua YPI, Sucipto Wibowo, menambahkan regulasi yang mengakomodasi hak-hak korban terorisme perlu diatur secara jelas agar korban bisa langsung ditangani secara medis tanpa harus menunggu pernyataan ataupun jaminan dari pemerintah, keluarga, atau pihak-pihak lain.
"Selama ini yang ada di UU Terorisme hanya rehabilitasi pelaku, sedangkan korban tidak diatur. Sampai sekarang belum ada payung hukum di mana korban pada hari H langsung ada penanganan dari pemerintah," ungkap Sucipto.
Ia mengatakan telah bertemu dengan Komisi III DPR dan menyampaikan usulan terkait dengan hak-hak korban dalam peristiwa terorisme.
Pihaknya mendorong Komisi III agar mempermudah hak-hak kompensasi untuk para korban terorisme.
"Kemarin waktu kejadian Thamrin kami monitor bersama dengan LPSK, ada penanganan pemerintah dari rumah sakit, tetapi beberapa hari kemudian mereka bingung juga siapa yang bertanggung jawab. Penanganan sistematisnya belum ada yang baku. Korban bingung harus bagaimana biayanya," tandasnya.
Selama ini, kata dia, seperti dalam UU Terorisme, kompensasi diberi dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan. Padahal, tidak semua kasus terorisme masuk ke pengadilan.
Ia mencontohkan kasus bom Thamrin yang semua pelakunya tewas. Dalam kondisi itu, tanpa ada prosedur pengadilan, korban tidak bisa mengajukan kompensasi.
Menurutnya, akan lebih baik jika kompensasi tidak perlu melalui mekanisme peradilan, tetapi langsung diberikan dari Menteri Keuangan.
"Kompensasi korban di UU ada, tetapi implementasinya menunggu amar putusan, itu lama. Kenapa korban mesti menunggu amar putusan, dari sisi biaya dan waktu bahkan SDM juga sulit," paparnya. (Nov/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved