Beasiswa untuk Anak Mindanao

18/6/2016 09:19
Beasiswa untuk Anak Mindanao
(Dok. Yayasan Sukma)

SEBAGAI tindak lanjut negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf pada awal Mei atas pembebasan 10 WNI, Yayasan Sukma kemarin meneken nota kesepahaman pemberian bantuan pendidikan dengan Kepala Staf Regional Wilayah Otonom Muslim Mindanao (Autonomous Region in Muslim Mindanao) Rasol Mitmug.

Seperti dilaporkan wartawan Metro TV Rizki Amalia, penandatanganan pemberian beasiswa untuk anak-anak di wilayah Filipina Selatan itu berlangsung di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila.

Yayasan Sukma memberikan beasiswa kepada 31 anak yang berasal dari Cotabato, Zamboanga, Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi. Pemberian bantuan pendidikan itu merupakan salah satu bagian dari proses negosiasi pembebasan 10 awak kapal kapal Brahma 12 dan tongkang Anand 12 antara Yayasan Sukma dan kelompok Abu Sayyaf melalui bantuan organisasi masyarakat Filipina, Basalta Contact Group.

"Mereka paham bahwa problem utama di kalangan para pemberontak ialah rendahnya pendidikan. Menurut mereka, peningkatan pendidikan bisa menjadi salah satu upaya menyelesaikan permasalahan," kata Ketua Yayasan Sukma Rerie Lestari Moerdijat.

Para siswa nanti akan menerima pendidikan penuh dari tingkat SMP hingga SMA di Sekolah Sukma Bangsa Aceh milik Yayasan Sukma. Mereka merupakan anak-anak yang memiliki kekerabatan dengan kombatan serta warga sipil yang tinggal di wilayah konflik.

"Kami ingin membagi pengalaman Sekolah Sukma. Salah satu proses yang luar biasa ialah mentransformasi pemikiran anak-anak bahwa radikalisme tidak akan menyelesaikan permasalahan. Jadi, inti utama pendidikan di Sukma Bangsa ialah menanamkan pemikiran dan prinsip perbedaan serta memperkenalkan keragaman," ujar Rerie seusai penandata­nganan naskah kerja sama yang disaksikan Dubes Indonesia untuk Filipina Johny Lumintang dan Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Sukma Komarudin Hidayat.

Perwakilan Basalta Contact Group, Edmund Gambahali, mengakui masyarakat di Filipina Selatan menyadari lingkung­an mereka tidak ideal untuk pertumbuhan anak-anak.

"Tempat tinggal mereka tidak baik untuk membesarkan anak agar menjadi warga negara yang baik. Semua karena masalah peredaran obat-obatan, perbedaan suku dan etnik, serta peperangan. Itu masalah kami,’’ ungkap Edmund. (Dio//X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya