DPR Kebablasan

Nurul Fadillah
18/6/2016 08:20
DPR Kebablasan
(ANTARA/Sigid Kurniawan)

PELARANGAN Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengikuti rapat kerja dengan mitra kerjanya, Komisi VI DPR, oleh Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon pada 18 Desember 2015 dinilai kebablasan. DPR harus mencabutnya.

Pakar hukum tata negara Saldi Isra menilai larangan itu sebaiknya dicabut karena, pertama, hampir semua fraksi di DPR kini tidak keberatan dengan kehadiran Rini.

"Nah, itu kan artinya pimpinan DPR sekarang harus mencabutnya. Kedua, karena sudah ada pimpinan yang permanen di DPR, menurut saya, keputusan yang dikeluarkan Plt Ketua DPR saat itu harus ditinjau ulang," ujar Saldi saat dihubungi kemarin.

Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno dilarang menghadiri rapat dengan Komisi VI. Akibatnya, Presiden Joko Widodo mengutus Menkeu Bambang Brodjonegoro untuk menggantikan Rini dalam pembahasan anggaran dan permasalahan terkait BUMN (Media Indonesia, 17/6).

Saldi pun menegaskan rekomendasi Panitia Khusus Pelindo II pada 17 Desember 2015 yang meminta pelengseran Menteri BUMN Rini Soemarno sudah kebablasan.

"Kewenangan menteri itu ada di tangan presiden, bukan di tangan DPR khususnya pansus. Jadi, ada dua hal yang kebablasan. Pertama rekomendasi yang memang tidak sesuai. Kedua surat Plt Ketua DPR saat itu yang dalam substansinya menambah larangan hadir ke DPR," jelasnya.

Surat larangan itu, lanjut dia, mengganggu hubungan Kementerian BUMN dengan DPR. Itu juga melanggar fungsi pengawasan DPR. "Bagaimana Anda mau mengawasi orang kalau orang itu dilarang untuk datang?" pungkas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

Pansus Pelindo II mengeluarkan tujuh rekomendasi yang disetujui dalam rapat paripurna DPR (lihat grafis).

Komisi VI terganggu
Terkait dengan pelarangan itu, Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno mengaku terganggu. Selain pembahasan Rancangan APBN Perubahan 2016 terhambat, komisinya juga tidak bisa menjalankan fungsi dewan secara maksimal. "Apalagi kita sedang membahas revisi Undang-Undang 19/2003 tentang BUMN," ujar politikus PAN itu.

Meski demikian, pihaknya tidak mempunyai kewenangan mencabut surat tersebut sebab surat itu dikeluarkan Plt Ketua DPR. "Pencabutannya menjadi wewenang ketua atau pimpinan DPR," tandasnya.

Mantan ketua pansus yang juga anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan Rini tetap tidak bisa rapat kerja sampai rekomenda­si pansus dicabut lewat keputusan Rapat Paripurna DPR. "Meski tidak ada dalam rekomendasi pansus, pelarangan Rini merupakan bentuk konsekuensi (rekomendasi pansus)," ujar Rieke, kemarin.

Secara terpisah, Ketua DPR RI Ade Komarudin menyarankan penyelesaian politik. "Rekomendasi pansus sudah diketuk di paripurna makanya harus ada penyelesaian politik," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, pimpinan DPR tak bisa serta-merta mencabut larangan tersebut. "Harus jadi putusan paripurna dulu. Usulannya bisa dari pansus atau pimpinan Komisi VI," ucap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Namun, Presiden Joko Widodo tak mempersoalkan hal ter­sebut. "Kalau tidak boleh mengikuti, ya saya berikan ke­pada Menteri Keuangan," ujarnya di Batang, Jawa Tengah, kemarin. Rini yang berada di samping Presiden memilih bungkam ketika ditanya wartawan. (Kim/Uta/Ind/Pol/X-6)

fadillah@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya