Pemilu Borongan Pertaruhan Demokrasi

Nyu/Ind/P-1
13/6/2016 01:00
Pemilu Borongan Pertaruhan Demokrasi
(ANTARA/YUDHI MAHATMA)

PERUBAHAN Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang baru sepekan lalu disahkan DPR menuai sejumlah kontroversi, mulai persoalan verifikasi faktual calon independen, pemotongan kewenangan penyelenggaran pemilu, hingga batasan politik uang.

Dalam perubahan itu, DPR dan pemerintah juga menyepakati jadwal pilkada serentak dimajukan dari semula 2027 menjadi 2024.

Atas nama efisiensi dan efektivitas, pilkada digelar bersamaan dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).

Penggabungan itu menjadikan 2024 akan diwarnai 3 kali pemilu, yakni pilpres dan pileg pada April, potensi pilpres putaran kedua pada Juni/Juli, dan pilkada serentak pada November.

Pemajuan jadwal itu sekilas tampak sebagai hal yang biasa.

Namun, bila dicermati, penyelenggaraan itu bakal menjadi beban berat bagi penyelenggara pemilu.

Tanpa antisipasi yang benar-benar matang, konsep pemilu borongan seperti itu berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut setidaknya ada tiga konsekuensi.

Pertama, terkait dengan persiapan.

"Meskipun tidak dilaksanakan secara bersamaan, menyelenggarakan pemilu di tahun yang sama akan membuat ruang konsolidasi dan persiapan bagi penyelenggara pemilu sangat sempit dan akan semakin rawan terjadinya kesalahan-kesalahan teknis dalam penyelenggaraan karena pemilu yang semakin banyak," papar Titi kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu.

Kedua, menyangkut antusiasme pemilih.

Penyelenggaraan pemilu borongan dikhawatirkan membuat pemilih semakin jenuh dan jauh dari rasionalitas.

Tingkat partisipasi pun bisa melemah.

Ketiga, banyaknya pelaksana tugas kepala daerah yang mesti disiapkan untuk menyesuaikan jadwal pilkada serentak.

Mereka menjadi pejabat sementara dengan durasi yang cukup panjang, yakni 1-2 tahun.

Kondisi itu berpotensi mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemenuhan pelayanan publik di daerah setempat.


Lemahkan evaluasi

Kendati tidak mengeluhkan beban yang berat untuk menyelenggarakan pemilu borongan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga melontarkan kritik.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengamini potensi kejenuhan pemilih karena mengikuti tiga kali pemilihan dalam setahun.

Menurut Hadar, jika efisiensi menjadi hal yang tidak bisa ditawar, akan lebih baik jika pilkada dilakukan pada hari yang sama dengan pilpres dan pileg.

Bukan berjarak beberapa bulan.

"Banyak negara jadi satu kali, surat suaranya satu saja, walau itu tidak mudah juga bagi pemilih karena banyak pilihannya, pendidikan pemilih (menjadi krusial)," ujarnya.

Selain kejenuhan pemilih, lenyapnya ruang evaluasi terhadap pemerintah pusat juga dipersoalkan.

Nafis Gumay mengingatkan adanya niat para akademisi dan penggiat pemilu untuk memisahkan pemilu nasional (pilpres, pileg DPR dan DPD) dan pemilu lokal (pilkada, pileg DPRD) dengan jarak 2,5 tahun.

Hal itu ditempuh melalui kodifikasi empat UU pemilu demi memperkuat sistem presidensial.

Batalnya kodifikasi itu, menurut Hadar, membuat ruang evaluasi terhadap pemerintah pusat menjadi tertutup.

Jika sebelumnya masyarakat bisa membuat pilihan berbeda saat pilkada ketika tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat, kini hal itu sulit dilakukan.

Pemilih dalam waktu yang sempit cenderung memilih kepala daerah yang satu partai atau didukung presiden terpilih dan parpol pemenang pileg.

"Sulit dibentuk (evaluasi) dengan dilakukan pilkada dalam tahun yang sama. Seharusnya penting ada ruang untuk masyarakat melakukan evaluasi, 'oh tidak benar pemerintah yang ini sekarang saya mau ganti deh kekuatan politik (yang baru)'. Itu evaluasi," ujar Hadar saat berbincang di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (10/6).

Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz juga mempermasalahkan ruang evaluasi.

Koreksi pemilih terhadap pemerintahan terpilih yang diusung parpol hanya dapat dilakukan lima tahun sekali.

"Pilkada yang bersamaan dengan pemilu nasional dapat menciptakan kekuasaan yang cenderung besar tanpa kontrol karena adanya potensi pemenang mengambil semua. Kekuasaan yang kuat dan besar akan cenderung koruptif," papar Hafidz.

Salah satu substansi revisi Undang-Undang 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah ialah memajukan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional dari semula 2027 menjadi 2024.

Maksud DPR ialah penyelenggaraan pemilu dapat efisien.


Sisi positif

Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman mengakui sedianya pilkada serentak nasional diproyeksikan pada 2027.

Namun, setelah dihitung pada 2019 ada perhelatan pilpres dan pileg yang akan digelar kembali 2024.

Atas pertimbangan itu, DPR memajukan pilkada serentak supaya waktu antara pileg, pilpres, dan pilkada relatif dekat.

"Jadi jangan terlalu jauh jarak antara pilres, pileg, dan pilkada. Hanya selang dua bulan," kata Rambe ketika berbincang dengan Media Indonesia, Jumat (10/6).

Dengan jarak antara pilpres dan pilkada yang dekat, para kepala daerah dapat mengimplementasikan langsung serta menerjemahkan visi dan misi presiden terpilih.

Dengan demikian, kata Rambe, kebijakan antara pusat dan daerah dapat selaras.

"Jadi, calon kepala daerah akan membuat visi misi berdasarkan presiden terpilih. Kalau terlalu lama setiap daerah berbeda-beda kebijakannya," imbuh anggota legislatif dari Fraksi Partai Golkar itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menepis kekhawatiran bahwa tiga pemilu yang bersamaan dalam satu tahun akan membuat pemilih jenuh atau bingung.

Justru bila dibuat pemilihan dengan tahun berbeda-beda, energi masyarakat akan terkuras dengan agenda politik nasional terus-menerus.

"Kalau 2024 pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, kemudian 2027 pemilihan kepala daerah, kapan kita konsolidasi nasional? Waktu terkuras hanya untuk mengurusi election," cetus politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Dalam menanggapi banyaknya pelaksana tugas dari kepala daerah yang masa jabatan mereka berakhir pada 2023 dan 2022 dari hasil pemilihan 2017 dan 2018, Lukman mengatakan hal itu tidak masalah.

Menurutnya, yang terpenting jangan sampai mengurangi jabatan para kepala daerah terpilih.

"Jabatan kepala daerah tidak boleh dikurangi haknya sampai lima tahun. Tidak boleh pengurangan jabatan sampai setahun, maksimal enam bulan," tukas Lukman. (Nyu/Ind/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya