Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PENDEKATAN pendidikan, baik di sekolah maupun di lingkungan bekas kombatan, lebih memungkinkan berhentinya keinginan untuk melakukan teror ketimbang deradikalisasi yang formal.
Kebanyakan pelaku tak memiliki pemahaman agama yang mumpuni.
Pasal pencegahan pun didorong lebih banyak dalam revisi UU Terorisme.
Anggota Komisi Hukum MUI Brigjen (Purn) Anton Tabah Digdoyo mengungkapkan, berkas acara pemeriksaan (BAP) kasus-kasus terorisme di periode awal terbentuknya Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri menunjukkan bahwa teroris tak memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam.
Alhasil, mereka gampang diiming-imingi cerita 72 bidadari surga jika bersedia melakukan bom bunuh diri atau menjadi 'pengantin'.
"Mereka itu terjebak di ayat-ayat dasar sehingga mengafirkan, menyulut militansi mereka," kata dia, dalam rapat dengar pendapat umum Pansus RUU Terorisme, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Senada, peneliti dari Indonesian Institute for Society Empowerment (Insep) Ahmad Baedowi mengatakan latar para pelaku itu ialah pendidikan yang tak tinggi dan jauh dari pendidikan agama.
Akar kekerasan pun harusnya bisa dicegah sejak usia sekolah.
Itu tecermin dari penelitian INSEP bersama LAKIP di 2010, bahwa mayoritas latar pendidikan para pelaku teror ialah SMA (48,2%).
Motif tindakannya didominasi oleh ideologi religius (45,5%) dan solidaritas komunal (20%).
Di penelitian selanjutnya di 2012, pihaknya menemukan adanya 25% siswa SMA (dari 600 responden) juga menyatakan bahwa Pancasila sudah tak relevan.
Baedowi menyebut data-data di atas mencerminkan potensi radikalisme di sekolah.
Ini mungkin menjadi bibit penganut ideologi kekerasan di masa depan.
Sayangnya, pencegahan radikalisme sejak di usia sekolah itu kurang diperhatikan Kemendikbud maupun Kemenag, serta perumus revisi UU Terorisme itu sendiri.
Evaluasi deradikalisasi
Pihaknya juga menyarankan penggantian metode deradikalisasi yang hanya terpusat, tetapi tak terkoordinasi di BNPT, menjadi metode reedukasi atau pembelajaran kembali.
Ini mesti melibatkan berbagai pihak, selain BNPT, juga Kemenag, Kemendikbud, dan Kemendagri secara terkoordinasi.
"Pencegahan selalu kurang. Mestinya dilakukan lewat pendidikan. Bahwa penindakan penting, tetapi porsinya harus lebih kecil daripada pencegahan," kata Beadowi.
Rizal Panggabean, praktisi dari Centre for Peace and Conflict Studies, mengungkapkan pentingnya pelurusan istilah deradikalisasi bagi para pelaku teror.
Menurutnya, memiliki ideologi radikal tak masalah sepanjang bisa terputus dari aksi teror.
Pola keterputusan atau disengagement ini lebih disarankan ketimbang deradikalisasi yang tak efektif.
"Di UGM itu banyak sekali dosen yang pemikiran mereka aneh-aneh. Ideologi sih silakan. Namun, batasannya itu adalah aksi (teror). Urusan intel untuk memantaunya," ujar pengajar Fisipol UGM ini.
Metode disengagement ini di antaranya dilakukan dengan menyibukkan pelaku dengan kehidupan sosial.
Sejumlah cara yang telah dicoba pihaknya terhadap sekitar 500 eks kombatan Poso ialah dengan menikahkan mereka, mendidik cara beriwirausaha, dan memperluas pergaulannya.
Pimpinan RDPU Pansus RUU Terorisme Mayjen (Purn) Supiadin Aries Saputra menampung masukan dari tiga sumber tersebut. Pihaknya pun tak ingin terburu-buru menuntaskan RUU ini.
"Kita juga akan panggil di pansus ini Mendikbud, Menteri Agama, untuk menjelaskan soal kurikulum di sekolahan," tandas dia. (P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved