Eks Anggota Gafatar Terabaikan

Cah/X-6
09/6/2016 07:20
Eks Anggota Gafatar Terabaikan
(ANTARA/Fiqman Sunandar)

GELOMBANG pengusiran eks anggota Gafatar dari beberapa wilayah menyisakan perih bagi kaum perempuan dan anak.

Pasalnya, eksodus yang terjadi pada awal 2016 itu menyisakan pelanggaran hak terhadap perempuan dan anak oleh negara sehingga negara harus bertanggung jawab.

"Stigma ini berat dan sangat minim ruang klarifikasi. Banyak perempuan dan anak menjadi korbannya bahkan ada yang stres sampai ada yang keguguran pada masa pengungsian," terang Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sjarifudin, pada diskusi bertajuk Hentikan Diskriminasi dan Penelantaran Perempuan eks Gafatar di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, kemarin.

Menurutnya, negara harusnya hadir pada proses perpindahan Gafatar ini.

"Negara hadir tidak menjamin, tetapi memfasilitasi dan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri," tegasnya.

Hal lain, sambung dia, negara belum menjadi tempat bernaung dan memberi perlindungan di bidang administrasi.

KTP mereka masih jarang yang dipenuhi permintaannya oleh negara sehingga hak konstitusionalnya masih terabaikan.

Menurut pembicara lain dari Solidaritas Perempuan, Nisa Yura, korban dalam proses pemulangan eks anggota Gafatar banyak dari anak dan perempuan.

Fakta ini menyedihkan di tengah negara yang harusnya melindungi warganya.

"Fakta di lapangan sangat banyak perempuan dan anak yang tercerabut haknya. Bahkan sampai pembalut pun tidak bisa memenuhinya, belum lagi traumatik yang tinggi mendera," katanya.

Hal senada disampaikan Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Ratna Batara Munti.

Di tempat yang sama, seorang korban pada kasus ini, Ida Zubaidah, menjelaskan, pada 10 Desember 2012 datang ke Kalimantan untuk bertani.

Alasannya, untuk meningkatkan penghidupan dengan bertani.

"Saya dengan keluarga ke sana dan setelah kami ke sana tetangga menerima baik. Kemudian pada awal 2016 terjadi kondisi mencekam tiba-tiba, kami dipaksa meninggalkan rumah dan isinya," katanya.

Ia mengatakan proses pemulangan pun tak manusiawi.

"Sampai di Cimahi, Jawa Barat, kita semua difoto dan ada yang dikenakan baju tahanan. Hal lain sidik jari seluruh tangan diminta dengan alasan untuk administrasi. Padahal, apa salah kami yang hanya ingin bertani karena Gafatar sudah lama dibubarkan," tukasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya