Eksekusi Melempem tanpa Kelembagaan

Nov/Gol/Cah/P-1
06/6/2016 06:05
Eksekusi Melempem tanpa Kelembagaan
(MI/PANCA SYURKANI)

PELAKSANAAN putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat tergantung pada kesadaran dan ketaatan pihak-pihak terkait.

Hal itu disebabkan MK tidak memiliki lembaga sebagai eksekutor sekaligus pengawas atas implementasi putusan.

"Eksekusi putusan itu susah karena tidak ada lembaga khusus," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat saat dihubungi kemarin.

Ketiadaan lembaga tersebut membuat berbagai pemangku kebijakan harus ikut mengawal agar putusan MK dijalankan. Oleh karena itu, perlu kesabaran dalam penerapannya.

Menurut Arief, tidak hanya MK di Indonesia, pengalaman serupa juga terjadi pada MK di negara yang tidak memiliki lembaga khusus sebagai eksekutor dan pengawas.

Bahkan, perlu waktu bertahun-tahun agar putusan MK dapat diimplementasikan dengan baik.

"Ada negara yang sampai 20-30 tahun baru bisa menjalankan putusan MK negaranya dengan baik. Maka, tidak bisa patah semangat atau menjadi apatis terhadap putusan kami," tutur Arief.

Namun, penerapan yang berlarut-larut, menurut mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, tidak semestinya terjadi.

Begitu diucapkan, putusan MK langsung memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak.

Dalam pembuatan undang-undang, kata Jimly, putusan MK wajib diperhatikan DPR dan pemerintah.

"Para legal drafter benar-benar mencermati setiap putusan MK yang terkait dengan RUU yang tengah disusun, baik itu oleh pemerintah maupun DPR," paparnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan kerap diabaikannya putusan MK menunjukkan sikap yang bertentangan dengan UUD 1945 dan mencederai kepercayaan publik.

Ia menyayangkan perdebatan dalam pembahasan revisi UU Pilkada tentang perlu atau tidaknya anggota legislatif mengundurkan diri dari parlemen saat maju dalam konstestasi pilkada.

Putusan MK No 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan anggota legislatif harus mundur cenderung diabaikan.

Urungnya eksekusi atas putusan MA dipandang serupa dengan pelecehan UUD 1945.

Asep mengatakan saat ini lebih elok untuk memikirkan bagaimana membuat sebuah konsekuensi hukum dari ketidakpatuhan pada putusan pengadilan.

Ia mencontohkan gagasan membuat undang-undang contempt of court (penghinaan lembaga peradilan).

"Kita ingin ada UU yang mengatakan ketika suatu produk hukum sudah diuji dan kemudian dibatalkan, maka tidak perlu lagi ada pengujian karena sudah batal demi hukum," terang dia.

Mengenai kemungkinan eksekusi putusan MK dapat dilakukan dengan meminta bantuan dari lembaga penegak hukum lain, imbuh dia, hal itu tidak bisa dilakukan.

Pasalnya, eksekusi hanya berlaku untuk hukum pidana dan tidak bisa diterapkan dalam produk hukum tata negara.

Senada, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menilai putusan MK yang tidak dieksekusi atau dijalankan itu tidak bisa dieksekusi lembaga lain.

Itu karena putusan MK hanya berhubungan dengan norma.

"Pelaksanaan putusan pengujian UU akan sangat bergantung pada kepatuhan pembentuk UU terhadap sumpah jabatannya. Mereka wajib melaksanakan UUD dan UU dengan sebaik-baiknya, termasuk putusan MK sebagai penafsir resmi konstitusi," tandasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya