Pelecehan Konstitusi Cederai Demokrasi

Arif Hulwan
06/6/2016 06:00
Pelecehan Konstitusi Cederai Demokrasi
(MI/SUSANTO)

SALAH satu kewenangan yang diberikan negara kepada Mahkamah Konstitusi (MK) ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Melalui kewenangan itu MK memastikan peraturan perundangan yang ada tidak bertentangan dengan konstitusi.

Putusan-putusan MK bersifat final dan mengikat yang berarti harus dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan.

Kendati begitu, banyak putusan MK yang terabaikan, bahkan sengaja diabaikan sehingga tidak kunjung terimplementasi.

Sebut saja putusan MK No 35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35) yang dibacakan MK 16 Mei 2013, soal pengembalian hak-hak hutan dan masyarakat adat.

Sampai saat ini pada praktiknya belum ada satu hutan adat pun yang dibebaskan dari hutan negara.

Ada pula putusan MK No 101/PUU-VII/2009 yang memerintahkan pengadilan tinggi agar mengambil sumpah para advokat, baik dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) maupun Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Melalui putusan itu, MK mengabulkan gugatan yang diajukan perseorangan di antaranya Abraham Ramos terhadap Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003.

Abraham merasa dirugikan karena putusan MK tersebut dalam praktiknya tidak dilaksanakan.

Ia menjelaskan, meskipun sudah terdapat putusan MK, tetapi ketika organisasinya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) memohon penyumpahan, pengadilan tinggi tetap menolaknya.

Lebih lanjut, Abraham menyatakan bahwa organisasinya sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan yang ada.

Namun, yang menjadi kendala adanya perlakuan yang berbeda oleh Mahkamah Agung (MA) terhadap organisasinya.

Dalam praktiknya, MA kerap menolak mengambil sumpah advokat yang bukan berasal dari Peradi.

"Kami sudah mohonkan sumpah, tetapi pengadilan tinggi yang tidak mau. Di mana salahnya kami? Organisasi kami sudah mohonkan secara patut, tetapi tetap tidak diberi," keluh Abraham.

Kecenderungan untuk mengabaikan putusan MK juga terlihat dalam pembahasan revisi UU No 8/2015 tentang Pilkada.

DPR semula ngotot untuk tidak mencantumkan ketentuan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD, wajib mundur dari keanggotan parlemen bila maju menjadi calon kepala daerah.

Sebaliknya, pemerintah berpegang teguh pada putusan MK No 33/PUU-XIII/2015 yang mengharuskan pengunduran diri tersebut.

Perdebatan antara DPR dan pemerintah membuat pengesahan UU Pilkada molor dari waktu yang dijadwalkan semula.

Al Muzzammil Yusuf, anggota Fraksi PKS, mengaku kecenderungan mengabaikan putusan MK dipicu oleh keraguan terhadap lembaga tersebut.

Ia menilai sejumlah putusan MK mencerminkan inkonsistensi.

Misalnya, pada 2008, MK telah mencabut pasal di UU Pilkada tentang keharusan calon petahana yang maju dalam pemilihan umum untuk mundur.

Alasannya, ada kedudukan yang sama bagi setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan.

Namun, pada 2015, MK menyatakan inkonstitusional pasal di UU Pilkada yang menyatakan bahwa anggota DPR, DPD, DPRD cukup memberitahukan kepada atasan soal pencalonannya di pilkada.

Anggota dewan mesti mundur begitu ditetapkan sebagai calon.

"Ini perlakuan yang tidak sama atas sesama pejabat negara," ujar Muzzammil, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (3/6).

Tergantung interpretasi

Anggota Fraksi PPP Arsul Sani bahkan menyebut mestinya ada perubahan alur peradilan konsitusi di MK.

Ketetapan 'final dan mengikat' itu seringkali menempatkan subjek hukum terkait dalam posisi serbasalah.

Untuk menggugat pun tidak ada jalur banding yang lebih tinggi.

"Kalau bisa, ya ubah UUD 45. Kalau cuma mengubah UU MK, ya paling dibatalin lagi sama mereka (MK) sendiri," selorohnya.

Ketua DPR Ade Komarudin pun mengutarakan soal adanya keluhan terhadap kewenangan MK.

Beberapa di antaranya datang dari kalangan akademisi ilmu hukum.

"Banyak guru besar hukum sudah lama mengeluh soal keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi. Mereka (guru besar) ini orang-orang pintar, para profesor doktor, dan ikut menyusun, menyiapkan diri awal setiap UU. Tiba-tiba diujimaterikan oleh hanya sembilan orang anggota MK. Padahal, mereka (guru besar) ini orang-orang pintar dan lebih mengetahui dibandingkan anggota MK sekalipun," tuturnya.

Meskipun begitu, Ade mengaku pihaknya lebih mengedepankan penghormatan terhadap insitusi yang diatur dalam konsitusi negara.

Sepahit apa pun, realitas itu mesti diterima selama masih ada pengaturannya.

Norma yang sudah diputus MK pun diprediksinya tidak akan berubah jika itu kembali digugat ulang lewat uji materi.

"Kita harus tunduk dan patuh terhadap konstitusi," urai Ade.

Pengajar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Sony Maulana Sikumbang mengatakan setiap putusan MK ialah bentuk interpretasi dari para hakim konstitusi.

Ia berpendapat putusan MK belum tentu valid dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam beberapa tahun setelah diputus.

Konteks perkembangan masyarakat, menurut Sony, bisa menjadikan sebuah undang-undang tidak lagi sejalan dengan putusan MK.

"Mengingat undang-undang berbicara mengenai sesuatu yang faktual, dan putusan MK ialah interpretasi mengenai kesesuaian undang-undang dengan konstitusi," ujarnya.

Sony menekankan memahami nilai-nilai dasar konstitusi sangat penting di saat melakukan pembahasan sebuah undang-undang.

Masalahnya, penafsiran terhadap konstitusi itu bisa beragam.

Namun begitu, Sony tetap memandang proses legislasi perlu merujuk pada putusan MK.

"Untuk meminimalisasi kesalahan yang terjadi," pungkasnya.

Konsekuensi pemilu

Pemerintah dan DPR diimbau untuk menghormati putusan MK dalam pembuatan undang-undang.

Jika tidak menjalankan, konsekuensi bisa datang dari rakyat secara politis.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menegaskan pengabaian putusan MK dapat diakumulasi sebagai pelanggaran.

Kemudian, pemegang hak suara bisa menjadikan alasan itu dalam pemilu untuk tidak memilih partai politik yang 'membangkang'.

Selain itu, menurut Fahmi, langkah pengabaian putusan MK dipandang sebagai bentuk ketidakpahaman pembentuk undang-undang terhadap fungsi check and balances yang dilakukan kekuasaan kehakiman terhadap produk hukum yang mereka buat.

Fahmi mengingatkan sanksi pembatalan kembali atas undang-undang yang menghidupkan norma yang telah dibatalkan sudah efektif.

Dengan demikian, bentuk pembangkangan atas putusan MK tidak bisa diimplementasikan.

"UU yang dibuat secara bertentangan dengan putusan MK kemudian tidak akan efektif," tukasnya. (Pol/Cah/Nov/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya