Revisi UU Pilkada Kental Kepentingan Politisi

02/6/2016 08:05
Revisi UU Pilkada Kental Kepentingan Politisi
()

SETELAH melewati perdebatan sengit dan sarat dengan tarik-menarik kepentingan, Revisi Undang-Undang No 8/2015 tentang Pilkada akan disahkan hari ini dalam Rapat Paripurna DPR. Sejumlah kalangan menilai pembahasan revisi undang-undang itu lebih bernuansa kepentingan politisi ketimbang perbaikan proses pilkada.

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengungkapkan, di kompleks parlemen, kemarin, Revisi UU Pilkada hasil penggodokan di panitia kerja sudah dibawa ke Badan Musyawarah DPR. Selain pasal soal mundur tidaknya anggota dewan saat maju dalam pilkada dan syarat parpol dalam mengusung calon, anggota Bamus sudah menyepakati isu lainnya.

Agus mengakui bahwa kemungkinan adanya voting dalam pengesahan nanti masih ada kendati Bamus sudah sepakat. Apalagi, beberapa fraksi memberikan catatan dalam pandangan mereka ketika menyepakati Revisi UU Pilkada menjadi UU.

“Revisi UU ini sangat alot, tarik-menarik, tapi sudah bisa diselesaikan. Satu-dua hal yang prinsip masih ingin dibahas. Namun, sudah ada komitmen, di Bamus sudah diketuk. Mungkin saja berubah (naskahnya) nanti,’’ ujar Agus.

Selama ini, pembahasan Revisi UU Pilkada dilakukan terutup dan proses itu dianggap lebih bernuansa memperjuangkan kepentingan pribadi politisi. Padahal, animo masyarakat terhadap isu itu cukup tinggi.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil mengatakan DPR tak mampu mengolah dengan baik ketertarikan masyarakat terhadap pilkada dan Revisi UU Pilkada. Hal senada diutarakan Ahmad Hanafi, Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center.

“Sebagian besar rapat tertutup. Baru dua hari terakhir saja mau terbuka ketika sebagian besar fraksi sudah mencapai kesepakatan dengan pemerintah. Ini meresahkan, karena banyak hal yang disampaikan masyarakat, tapi tidak terakomodasi DPR,” cetus Hanafi.

Fadli dan Hanafi menyebut sejumlah isu yang masih dipertanyakan publik yang bukan didasarkan atas hasil evaluasi terhadap kelemahan pilkada serentak 2015. Salah satunya ialah soal pelarangan pihak yang menyandang status tersangka dan yang berstatus terpidana bebas bersyarat. Ada juga pengaturan pengenaan sanksi administrasi dan sanksi pidana bagi pelaku politik uang di pilkada.

“Pendekatan kepentingan lebih kental ketimbang pendekatan evaluasi. Mereka malah membahas poin-poin yang tidak perlu. Soal anggota dewan mundur-tidak mundur kan sudah ada putusan MK,” cetus Fadli. (Kim/X-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya