MK Tolak Gugatan Kriminalisasi KPK

Nyu/P-1
01/6/2016 08:25
MK Tolak Gugatan Kriminalisasi KPK
(MI/ATET DWI PRAMADIA)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak gugatan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto dalam perkara No 40/PUU-XIII/2015.

Kemudian, MK meminta DPR bersama pemerintah selaku pembuat undang-undang membuat mekanisme yang mengatur pemberlakuan tindakan kepolisian terhadap pimpinan KPK, sesuai dengan karakter, fungsi, dan tugas KPK. Selain itu, legislatif diharapkan mengisi kekuranglengkapan pasal dalam UU KPK yang mengatur pascaputusan praperadilan mencabut penetapan tersangka.

Dalam perkara tersebut, Bambang menggugat Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU No 30/2002 tentang KPK yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK jika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Bambang meminta aturan dalam pasal itu dicabut.

Di sidang pendahuluan 2015 lalu, kuasa hukum Bambang, Abdu Fickar Hadjar, mengatakan ketentuan dalam pasal itu merugikan Bambang yang diberhentikan dari jabatan pemimpin KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.

Bambang merasa penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan rekayasa kasus yang terjadi lima tahun sebelum menjadi pemimpin KPK saat menangani sengketa pilkada di MK. Namun, MK berpandangan anggapan itu tidak dapat dijadikan alasan inkonstitusionalnya pasal tersebut. Hal tersebut disebabkan pada dasarnya seluruh warga negara sama di hadapan hukum.

"Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menyatakan menolak permohonan seluruhnya," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di Jakarta, kemarin.

Dalam pertimbangan, hakim MK lainnya, I Dewa Gede Palguna, berpandangan bila penetapan tersangka oleh kepolisian diduga direkayasa, pasal tersebut tidak perlu dicabut. Tersangka dapat mengajukan upaya praperadilan terkait dengan penetapan statusnya.

Hal itu berpijak pada putusan perkara No 21/PUU-XI/2014 bahwa penetapan tersangka masuk objek praperadilan. "Penetapan tersangka yang diduga direkayasa jalan keluarnya bukan dengan meniadakan Pasal 32 ayat (2) UU KPK, melainkan dengan mengajukan praperadilan ke pengadilan negeri," kata Palguna.

Terkait dengan tidak adanya mekanisme yang mengatur prosedur pelaksanaan tindakan kepolisian terhadap pimpinan KPK, Palguna menyebut hal itu tidak menjadikan pasal tersebut inkonstitusional. Itu menunjukkan kurang lengkapnya pengaturan dalam pasal tersebut yang semestinya ditanggulangi DPR selaku pembuat undang-undang.

"Mahkamah menyatakan agar pembentuk UU melengkapi ketentuan dengan praktik yang sudah berlaku saat ini merujuk pada mekanisme yang pernah diberlakukan pada Bibit-Chandra," tutup Palguna.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya