Hukuman Pemberatan di Tangan Hakim

Rudy Polycarpus
27/5/2016 06:55
Hukuman Pemberatan di Tangan Hakim
(MI/PANCA SYURKANI)

SETELAH Perppu Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak diberlakukan, Rabu (25/5), kini bola pemberatan hukuman terhadap penjahat seksual terhadap anak berada di tangan hakim.

Para 'wakil Tuhan' itu pun siap menjalankan perppu tersebut.

Perppu yang diteken Presiden Joko Widodo untuk menyikapi kejahatan seksual terhadap anak yang sudah masuk kategori luar biasa tersebut mengatur pemberatan hukuman kepada pelaku.

Pemberatan pidana antara lain berupa penambahan 1/3 ancaman pidana, pidana mati, seumur hidup, atau penjara paling singkat 10 tahun dan maksimal 20 tahun.

Pelaku tertentu juga bisa diganjar hukuman tambahan seperti dikebiri secara kimiawi.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan penerapan pasal-pasal pemberatan hukuman itu di tangan hakim.

"Sepenuhnya menjadi wewenang hakim. Hakim tentunya tidak akan sembarangan menjatuhkan hukuman. Ada pertimbangan sendiri. Hakim melihat pelaku sudah kebangetan, berulang-ulang, misalnya seperti itu," ujar Yasonna di Jakarta, kemarin.

Untuk eksekutor, imbuhnya, pemerintah akan membuat payung hukum seperti peraturan presiden.

Yang pasti, eksekusi hukuman kebiri akan dilakukan dokter.

Yasonna memahami adanya perdebatan di kalangan dokter terkait dengan hukuman kebiri itu karena etika seorang dokter menyembuhkan, bukan memberi rasa sakit.

"Namun, kalangan medis tak bisa mengelak jika sudah menjadi putusan pengadilan. Itu kan perintah hukum. Kita semua patuh hukum."

Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi menyatakan hakim siap menjalankan Perppu No 1/2016.

"Asal ada dasar UU-nya, harus dia laksanakan. Cuma, hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan hukuman terhadap terdakwa. Dia akan melihat berat dan ringannya tindak pidana yang dilakukan, jahat dan buruknya terdakwa, itu sudah ada teorinya," tuturnya.

Hakim, sambung Suhadi, pada prinsipnya berpandangan sama bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak harus mendapatkan hukuman berat.

Namun, sekali lagi, penerapan hukuman bergantung pada kasus yang terjadi.

"Setiap kasus punya warna tersendiri."

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan pihaknya masih menunggu petunjuk teknis untuk dapat menjerat pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

"Kita hanya pelaksana. Nanti tunggu teknisnya dulu bagaimana menjerat para pelaku dengan hukuman kebiri," tandasnya.

Belum cukup

Dari Senayan, fraksi-fraksi DPR menyambut baik langkah pemerintah menerbitkan Perppu No 1/2016.

Perppu itu pun diprediksi akan mulus untuk disetujui DPR nanti, tapi bukan tanpa catatan.

"Pasti itu didukung. Tapi perppu kan terkait penegakan hukum. Yang harus dipastikan ialah pencegahan kejahatan seksualnya," tukas Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem Johnny G Plate.

Sikap yang sama ditunjukkan Fraksi Gerindra, Golkar, PKB, dan PAN. DPR punya waktu 3 bulan setelah Presiden mengirimkan draf perppu tersebut untuk memutuskan setuju atau menolaknya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am meyakini Perppu No 1/2016 memiliki signifikansi dan urgensi dalam pemberian efek jera pada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Namun, ia mengingatkan, hal itu tak cukup jika tak dibarengi dengan upaya pencegahan sejak dini oleh seluruh pihak.

"Perppu posisinya ada di hilir dalam mata rantai kejahatan seksual terhadap anak. Selain di hilir, perlu pencegahan dan penanganan sejak dari hulu," kata Asrorun.

Ia menyebut beberapa langkah pencegahan, antara lain penguatan ketahanan keluarga dan lingkungan.

Begitu pula penindakan hukum terhadap pornografi, narkoba, minuman keras, serta pencegahan tayangan gim video bermuatan kekerasan seksual, pornografi, dan perjudian yang dapat memicu kekerasan seksual terhadap anak.

(Nur/Ind/X-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya