Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
BANGKITNYA gagasan sistem pemilu ke proporsional tertutup tak bisa ditelan mentah-mentah. Untuk menyiasati pengaruh oligarki partai, sistem ini mesti dikombinasikan dengan proporsional terbuka. Jika sesuai rencana, sistem ini bisa memperkuat sistem presidensial dan kelembagaan partai.
Anggota Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengatakan usulan perubahan sistem penyelenggaraan pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup utamanya muncul dari PDIP dan Partai Golkar. Alasannya, banyak petinggi atau elite partai yang tersalip oleh orang baru dalam pencalonan anggota legislatif di pusat dan daerah.
Kerugian proporsional terbuka seperti di Pemilu 2014 ini, katanya, ialah lolosnya calon legislatif ke DPR yang sekedar mengedepankan popularitas, seperti artis, keluarga petahana, atau bahkan politik uang, tanpa memiliki pemahaman ideologi partai dan kualitas yang cukup untuk duduk sebagai anggota dewan. Keuntungannya, masyarakat diberi kesmepatan luas memilih caleg yang diinginkannya.
Sementara, kerugian sistem proporsional tertutup ialah memberi ruang yang besar bagi terpeliharanya ologarki partai atau kekuasaan segelintir elite untuk menentukan caleg yang bakal lolos. Kedekatan dengan pimpinan partai jadi kunci. Keuntungannya, kelembagaan partai jadi kuat.
"Dua perbedaan (sistem) ini (ditengahi) dengan ide ketiga. Proporsional, kombinasi antara tertutup dan terbuka. Tidak lagi tertutup 100%, tapi dicari celah dan solusinya," ujar Riza, kata dia di acara diskusi yang digagas Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, di Jakarta, kemarin.
Teknisnya, ada syarat batasan raihan suara tertentu agar caleg bisa lolos. Artinya, caleg dengan nomor urut bawah masih bisa menyalip caleg dengan nomor urut atas jika berhasil meraup jumlah suara tertentu, dengan catatan caleg nomor urut atas tak mampu melampaui capaian suara minimal tertentu. Riza mencontohkan dengan ide adanya batasan 75%, 50%, atau 25%.
Hal ini bakal jadi salah satu isu hangat dalam pembahasan revisi UU Penyelenggara Pemilu. Harapannya, kata Riza, pertengahan 2017, atau dua tahun sebelum Pemilu Legilsatif dan Pemilu Presiden 2019, UU ini rampung. Pembahasan empat perundangan yang terkait pemilu (UU Penyelengara Pemilu, UU Partai Politik, UU Pileg, dan UU Pilpres) bakal dilakukan seusai rampungnya RUU Pilkada dan RUU Pertanahan.
"Perdebatannya nanti di persentasi, antara pemerintah dan partai melalui fraksi-fraksi," imbuh Anggota Fraksi Partai Gerindra itu.
Partai Gerindra sendiri, akunya, tak masalah untuk tetap menganut sistem terbuka. Sebab, pihaknya ingin tetap memperbesar kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk aktif dalam pesta demokrasi sekaligus memberi banyak pilihan. Jika pun ada alternatif, Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Penanggulangan Bencana ini mendorong lolosnya sistem kombinasi.
Pipit Rochijat Kartawidjaja, Pemerhati Pemilu, mengakui, sistem proporsional terbuka menjadi masalah ketika kelembagaan partai-partai di Indonesia belum kuat. Di sisi lain, sistem proporsional tertutup memberi sinyal bahaya karena inisiatif demokrasi dimulai dari kalangan elite, bukan dari masyarakat.
Ia menyodorkan solusi berupa pelaporan penentuan caleg dan alasan-alasan logisnya oleh partai kepada KPU secara transparan. Hal itu sudah dipraktekkan Jerman. Dengan kombinasi itu, kualitas caleg bisa lebih terjamin, lembaga partai makin kuat, dan sistem presidensial bisa makin terjaga.
"Bagaimana kombinasikan sistem itu agar sistem kepartaian kuat dan presidensial kuat juga," kata Pipit.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Agus Mellaz mengungkapkan pentingnya sistem pemilu yang mengakomodasi sistem presidensial tidak murni seperti di Indonesia. Presiden pilihan rakyat tetap butuh dukungan mayoritas di parlemen. Pola kombinasi pun disebutnya sebagai jawaban.
"Alternatif yang diajukan untuk menjawab persoalan (presidensial) itu, apapun varian (sistem pemilu)-nya," ucap dia.
Sistem proporsional terbuka diterapkan pada pemilu 2009 dan 2014. Partai-partai mengeluhkan bahwa ini membuat kompetisi keras antarkader internal dan berbiaya mahal. Sebelumnya, penentuan caleg dilakukan secara tertutup berdasarkan nomor urut oleh parpol. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved