Penegakan Hak Asasi Manusia masih Macet

Cahya Mulyana
21/5/2016 05:45
Penegakan Hak Asasi Manusia masih Macet
(ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA)

KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai penegakan hak asasi manusia (HAM) dan penyelesaian kasus-kasus HAM berat masih macet walaupun reformasi telah berjalan 18 tahun.

"Kita masuk situasi kemacetan karena pengadilan HAM tidak berfungsi sama sekali," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani dalam diskusi Quo Vadis 18 Tahun Reformasi di Jakarta, kemarin.

Selain tidak berfungsinya pengadilan HAM, indikator kemacetan penegakan HAM lainnya ialah mekanisme pengungkapan kebenaran yang bergaung di awal reformasi juga ditiadakan.

"Mekanisme pengadilan HAM tidak berjalan. Janji penegakan HAM dalam Nawa Cita dan rencana pembangunan jangka menengah nasional masih sebagai jargon kampanye," kata Yati.

Selain itu, masuknya militer dan mantan militer ke pusaran politik melanggengkan kemacetan penyelesaian kasus-kasus HAM.

"Militer dan mantan militer yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat justru masuk ke panggung politik. Mereka punya partai politik dan relasi yang kuat dengan pemerintah," imbuh Yati.

Berbagai indikator yang disebutkan sampai sekarang masih terjadi dan fase tersebut akan terus langgeng selama masih mempertahankan oligarki kekuasaan seperti saat ini.

Reformasi politik, terutama yang terkait dengan oligarki partai politik, mendesak untuk dilakukan agar pemimpin terpilih nanti memiliki kapasitas dan integritas, bukan sekadar memiliki modal.

Selain itu, Yati menilai selama 18 tahun reformasi, pengembangan dalam aspek HAM, antikorupsi, dan lingkungan kurang menjadi prioritas.

"Pemerintah masih memprioritaskan bidang ekonomi, infrastruktur, dan stabilitas politik. Bidang-bidang tersebut ialah bidang yang kuat berhubungan dengan oligarki."

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo Eddyono menambahkan, kebebasan berekspresi yang masuk tuntutan reformasi belum membaik.

Pada 2015 saja sudah terjadi 40 kasus.

Itu belum lagi pelarangan peredaran buku, sensor film, dan pembatasan atas pendapat.

"Sistem hukum masih represif, banyak ekspresi yang ditekan." tegasnya.

Masih mengganjal

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan semagat pemberantasan korupsi untuk negara bersih belum signifikan terlaksana.

Imbasnya korupsi membuat negara semakin terpuruk dan dari tahun ke tahun tidak ada perkembangan signifikan.

Ia mengungkapkan pemberantasan korupsi belum lancar dan terkesan tidak signifikan. Sejak sampai saat ini indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia hanya mampu mencapai skor 36 dari 100.

Meskipun demikian, lanjutnya, pemerintahan saat ini lebih baik. Banyak pejabat daerah yg dipilih secara demokratis.

"Kelihatannya pemimpin sekarang punya semangat antikorupsi (yang berbeda) dari sebelumnya," tambah Adnan. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya