Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
JAKARTA sebagai miniatur Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berani dan punya ketegasan seperti yang dimiliki Basuki Tjahja Purnama atau akrab disapa Ahok. Tidak hanya dituntut mampu membenahi permasalahan di Jakarta dengan segala kompleksitasnya, tetapi juga sosok pemimpin harus berani mendobrak sistem yang korup.
Dalam diskusi dan peluncuran buku bertajuk Ahok sang Pemimpin Bajingan yang ditulis Maksimus Ramses Lalongkoe dan Syaefurrahman Al-Banjary sejumlah tokoh angkat bicara mengenai fenomena kepemimpinan pria kelahiran Manggar, Bangka Belitung, itu.
Menurut Guru Besar Sosiologi Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Burhan Mungin, walaupun lawan politik Ahok sering membidiknya dengan isu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dia berpandangan isu primodialisme tidak dapat menjatuhkan Ahok. Pasalnya, masyarakat sudah semakin rasional dalam memilih dan menentukan pemimpin. Dia menekankan bahwa yang dilihat masyarakat saat ini ialah karakteristik calon pemimpin yang akan dipilih. "Bangsa kita sudah masuk ke era posmo sehingga masyarakat memutuskan kehendak hatinya, bukan karena dipangaruhi ini dan itu," ujarnya dalam diskusi yang berlangsung di Aula Gedung Joeang, Jakarta Pusat, kemarin.
Fenomena itu, kata dia, juga terjadi di negara lain, seperti munculnya sosok Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Wali Kota London Sadiq Khan yang berasal dari kalangan minoritas.
Pandangan senada dilontarkan oleh peneliti senior CSIS J Kristiadi. Ia mengatakan instrumen primodial tidak bisa dijadikan basis kekuatan politik. "Konstitusi kita menyatakan bahwa semua warga negara punya hak untuk dipilih dan memilih," tegasnya.
Selain itu, Kristiadi berpandangan partai politik akan kesulitan mencari sosok tandingan bagi Ahok. Pasalnya, terlepas dari gaya komunikasi Ahok yang sempat menuai kritik, setidaknya sebagai petahana Ahok dinilai telah mampu membuktikan sejumlah kebijakan yang dirasa baik selama masa kepemimpinannya.
"Ini pertaruhan bagi mereka (calon Gubernur DKI) yang pernah memimpin dan akan mencalonkan. Namun, menurut saya, pilihan akan jatuh pada mereka yang sudah membuktikan (kinerjanya)," tutur Kristiadi.
Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyoroti hubungan Ahok sebagai eksekutif dengan DPRD DKI Jakarta. Ia menduga banyak politikus di DPRD khawatir kecurangan mereka terbongkar karena Ahok cenderung mendobrak sistem politik yang korup. Hal itu yang dinilai Lucius memantik ketidakharmonisan antara eksekutif dan legislatif di DKI.
"Ahok berhadapan dengan gerombolan politikus DKI yang lebih sibuk mencari kesalahan Ahok ketimbang bekerja sama. Mereka lebih fokus mencari celah kesalahan eksekutif karena khawatir ruang bermain mereka ditutup," tukas Lucius.
Sistem korup
Meskipun buku tersebut menggunakan kata yang cukup menuai kontroversi, yakni 'bajingan', kedua penulis Maksimus Ramses Lalongkoe dan Syaefurrahman Al Banjary mengaku sengaja merujuk pada kata tersebut untuk menggambarkan gaya kepemimpinan Ahok yang keras dalam menghadapi sistem yang korup.
"Bajingan bukan makna sebenarnya. Kami menemukan dia (Ahok) sebagai sosok pemimpin para bajingan, yaitu para pejabat negara yang punya komunikasi politik santun, tetapi korup," jelas Maksimus. (P-3)
indriyani@mediaindonesia.com
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved