Ahli Ungkap Motif Pemborosan

Uta/P-5
28/4/2016 07:10
Ahli Ungkap Motif Pemborosan
(MI/RAMDANI)

SELAMA periode 2012-2014, terdapat potensi pemborosan anggaran penanganan perkara dari negara sebesar Rp10 triliun.

Itu disampaikan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.

Ia menjadi saksi ahli dalam persidangan lanjutan pengujian UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Jika dihitung selama 3 tahun, potensi pemborosan anggaran negara tersebut dapat mencapai angka Rp10 triliun," tutur Andri.

Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, jumlah tindak pidana yang terjadi selama 2012 ialah 340.669 kasus.

Dengan biaya perkara rata-rata Rp12.710.000/kasus, total biaya perkara pada 2012 mencapai Rp4,3 triliun.

Padahal, perkara yang dirampungkan atau P-21 di tahun itu hanya berjumlah 102.082.

Artinya, ujar Andri, anggaran yang benar-benar efektif untuk meningkatkan perkara ke persidangan berjumlah Rp1,2 trilun.

"Itu menunjukkan ada masalah probabilitas pada penegakan hukumnya. Tentu ini ada kaitannya dengan uang. Bujet yang diminta bukan berdasarkan kasus yang dipecahkan, melainkan pada jumlah kasus yang ditemui sehingga anggaran menjadi tinggi," paparnya.

Andri mengaku mendapatkan angka tersebut dari laporan tahunan kejaksaan.

Di tempat yang sama, Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Ajun Komisaris Besar Agung Makbul menilai data yang dipaparkan dalam persidangan tersebut tidak bisa dipukul rata.

Dalam menyelesaikan suatu perkara, kepolisian melakukan klasifikasi jenis perkara mulai dari ringan, sedang, hingga berat.

Untuk perkara rendah, seperti penghinaan atau pencemaran nama baik, kepolisian mendapat anggaran sebesar Rp4,5 juta, perkara kategori sedang Rp9 juta, dan perkara berat yang menyita perhatian publik berjumlah lebih dari Rp20 juta.

Permohonan pengujian UU KUHAP diajukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI karena menilai ketentuan Pasal 109 ayat (1) menyebabkan penyidikan sering dilakukan tanpa kontrol dan tanpa pengawas penuntut umum.

Akibatnya, berkas perkara menjadi terkatung-katung.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya