MK Hadang Diskriminasi Pencalonan

Nyu/X-6
23/4/2016 11:45
MK Hadang Diskriminasi Pencalonan
(MI/Bary Fathahillah)

MAHKAMAH Konstitusi bergeming dengan putusannya yang menyatakan anggota DPR, DPRD, DPD, TNI, Polri, dan aparat sipil negara harus mundur saat mengikuti kontestasi dalam pemilihan kepala daerah.

Sikap itu diperlihatkan jajaran hakim MK saat ditemui ketua dan anggota dari Komisi II DPR terkait putusan MK tersebut.

Ketua MK Arief Hidayat mengungkapkan bahwa salah satu alasan pertimbangan MK dalam mengabulkan pengujian norma Pasal 7 bagian t dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada ialah untuk menghilangkan sisi diskriminatif antara anggota TNI, Polri, PNS, dan anggota dewan.

"Yang paling dijunjung tinggi ialah penghormatan HAM dan hak konstitusional warga negara. Dalam hal pengunduran diri tidak boleh ada diskriminasi. Jadi, kami memutuskan, kalau TNI, Polri, dan PNS harus mundur, hal yang sama juga berlaku bagi anggota dewan," ujar Arief dalam pertemuan di Gedung MK, Jakarta, pekan lalu.

Begitu pula terhadap mantan narapidana yang ingin bertarung dalam pilkada, kata dia, konstitusi harus menjamin hak seseorang untuk dipilih dan memilih selama hak itu belum dicabut oleh pengadilan.

Atas dasar kesetaraan itu, kata Arief, MK akhirnya memperbolehkan mantan narapidana untuk tetap mencalonkan diri menjadi kepala daerah meski sebelumnya hak tersebut dibatasi oleh UU.

"Demikian pula dengan kerabat petahana. Kita tidak bisa melarang orang lain untuk menjadi calon kepala daerah hanya karena orangtua, ipar, atau kerabatnya petahana," jelasnya.

Sebelumnya, dalam konsinyasi antara Komisi II DPR dan pemerintah sepekan terakhir, para wakil rakyat itu ngotot agar mereka bisa cuti saat berlaga dalam pilkada. Namun, anggota DPR tetap mengharuskan anggota TNI, Polri, dan PNS mundur ketika mengikuti ajang tersebut (Media Indonesia, 22/4).

Merusak institusi
Saat menanggapi sikap DPR, Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan bahwa keegoisan anggota DPR mengubah ketentuan agar tetap bisa maju mencalonkan diri tanpa harus mundur dari jabatannya, secara tidak langsung merusak sifat dari institusi TNI, Polri, dan birokrasi. Alasannya, lembaga-lembaga itu dituntut oleh UU untuk tidak berpolitik. Menurut Ray, anggota dewan harus mundur untuk mewujudkan ketertiban dan keefektifan politik.

"Ini berbahaya karena cara pikirnya hanya untuk kepentingan politis," ujarnya saat menjadi salah satu narasumber di acara diskusi tentang pilkada yang berlangsung di Media Center Bawaslu, kemarin.

Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan sikap DPR itu mencerminkan tidak patuhnya anggota DPR pada putusan MK yang sejatinya mengikat seluruh warga negara tanpa terkecuali.

"Usulan anggota DPR hanya perlu cuti didasari pada kepentingan individu para anggota DPR yang ingin maju dalam pilkada mendatang," ungkapnya.

Di sisi lain, Ketua KPU Husni Kamil Manik mangatakan keterlibatan KPU dalam pembahasan revisi UU Pilkada hanyalah memberi keterangan terkait teknis penyelenggaraan pilkada. "KPU tidak masuk ke hal-hal politis seperti syarat-syarat pencalonĀ­an," ujar Husni saat ditemui di Gedung KPU, Jakarta, kemarin. (Nyu/X-6)

putra@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya