Negara Lakukan Diskriminasi terhadap Pencipta Garuda

Uta/P-4
22/4/2016 11:45
Negara Lakukan Diskriminasi terhadap Pencipta Garuda
(ANTARA/Andika Betha)

SOSOK Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II masih terdengar cukup asing di telinga masyarakat. Padahal dialah sosok yang menciptakan lambang negara berupa burung elang rajawali atau yang lebih dikenal dengan Garuda Pancasila. Memang, negara juga belum sepakat mengenai siapa sosok yang pertama mencetuskan Garuda Pancasila menjadi lambang negara.

Undang-Undang 24/2009 tentang Lambang Negara belum rinci menjelaskan lambang negara kita. Hanya tercantum nama Wage Rudolf Soepratman sebagai pencipta lagu kebanggsaan Indonesia Raya.

UU hanya mengakui Garuda Pancasila sebagai lambang negara tanpa menyertakan nama Sultan Hamid II sebagai pencetus lahirnya lambang negara Indonesia.

Sekretaris Fraksi Partai NasDem, Syarief Abdullah Alkadrie menilai bahwa UU 24/2009 memang belum sempurna. Hanya pencipta lagu kebangsaan yang tercatat di dalamnya. Padahal lambang negara juga menjadi salah satu identitas penting dari suatu bangsa. Ia pun menilai secara tidak langsung, lewat UU 24/2009, negara telah mendiskriminasikan Sultan Hamid II.

"Kebanyakan mereka tidak tahu bagaimana ceritanya Indonesia bisa mempunyai lambang negara berupa burung garuda," ujar Syarief dalam seminar Meluruskan Sejarah Sultan Hamid II sebagai Perancang Lambang Negara RI di Gedung DPR Jakarta, kemarin.

Sementara itu, pakar hukum pidana Andi Hamzah mengungkapkan, tidak dapat di-sangkal lagi bahwa Sultan Hamid II merupakan tokoh yang menyusun konsep Garuda Pancasila.

"Bung Hatta dalam bukunya telah menegaskan, lambang negara yang disetujui parlemen adalah karya Sultan Hamid II, bukan dari M Yamin," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak (Untan), Turiman Fachturahman menyebut ada unsur politis dalam tidak mencantumkannya nama Sultan Hamid II sebagai pencipta lambang negara.

Rezim Orde Lama menuduh Sultan Hamid II sebagai aktor utama dalam peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) atau yang dikenal juga dengan Westerling di Bandung pada Januari 1950. "Meski tuduhan itu tidak terbukti, beliau tetap diadili dan mendapat vonis hukuman 10 tahun potong masa tahanan," ungkapnya. (Uta/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya