Menuju Pemiskinan Koruptor

Erandhi Saputra
04/4/2016 00:30
Menuju Pemiskinan Koruptor
(ANTARA/ZABUR KARURU)

FASILITAS mewah terpidana korupsi di balik jeruji besi jelas menunjukkan pemenjaaran fisik tidak membuat para koruptor tersebut jera.

Bahkan tidak sedikit yang menjadikan uang hasil korupsi mereka untuk melakukan korupsi berikutnya, baik dalam proses hukum ataupun penyuapan di penjara.

Uang hasil korupsi seperti menjadi darah bagi kejatahan korupsi itu sendiri.

Ia bisa menutupi pelaku dari proses hukum, bahkan menjadi modal untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.

Karena itu, nadi aliran darah itu mesti diputus dengan pemiskinan.

Ibarat pepatah 'Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlewati', falsafah tersebut yang kini gencar dilakukan untuk memberi efek jera kepada para koruptor.

Bukan hanya hukuman penjara, belakangan ini koruptor juga dibebani membayar uang pengganti dari hasil yang dikorupsi, bahkan aset-aset yang berasal dari kejahatan rasywah juga disita untuk negara.

Itu dilakukan agar tidak ada lagi koruptor yang masih bisa menikmati hasil korupsinya usai menjalani masa tahanan.

Anggota Komisi III fraksi NasDem Taufiqulhadi sependapat jika perampasan aset hasil korupsi dimaksimalkan sehingga koruptor tidak memiliki kesempatan untuk menikmati hasil korupsinya.

Dengan konsep pemasyarakatan, kata dia, praktik balas dendam sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini.

Penyitaan aset, sebutnya, lebih efektif sehingga menimbulkan efek jera ketimbang menghukum penjara selama mungkin.

"Mereka (koruptor) dihukum sebulan sudah sangat terpukul, bukan lama dihukumnya, melainkan kerugian negara harus dikembalikan," kata dia di Jakarta, pekan lalu.

Ia pun setuju dengan RUU perampasan aset sehingga negara bisa mengejar ke mana pun aset hasil korupsi yang coba disembunyikan.

Namun, RUU itu harus menjamin hak-hak warga negara agar kekayaan yang bukan berasal dari korupsi tidak ikut disita.

"Sebuah jaminan memiliki wewenang untuk mengejar aset ke mana pun, yang tersimpan di dalam negeri atau luar negeri dan harus ada perjanjian dengan pihak luar. Kedua, menjamin hak seseorang," tutupnya.

Berikan efek jera

Pakar hukum pidana asal Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir percaya pengembalian kerugian aset-aset negara yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dipercaya dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Namun, ia melanjutkan, dalam menyita dan merampas aset koruptor terhadap hasil keuntungannya dalam melakukan perbuatan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak hati-hati.

Penerapan denda ataupun perampasan aset keuntungan harus sesuai dengan kerugian yang negara alami.

Sementara itu, anggota Komisi III Fraksi Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan, jika memang ada perolehan aset yang tidak wajar, negara sudah bisa melakukan penyitaan.

Ia melanjutkan sejauh pejabat yang korup tidak bisa membuktikan perolehan hartanya ketika dirinya menjabat, memang perlu hukuman yang tegas bagi para koruptor tersebut.

Mayoritas suara Komisi III bulat dan sepakat bahwa ketersedian regulasi yang bertujuan memberikan efek jera bagi koruptor dan dapat mencegah upaya-upaya korupsi dirasa perlu.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP).

Tanpa dipayungi aturan main yang jelas, akan sulit bagi penegak hukum mengembalikan uang negara yang dicuri para koruptor.

"DPR harus segera selesaikan RUU perampasan aset. Sesuai dengan review UNCAC (United Nations Convention Against Corruptions), kelemahan Indonesia di situ (perampasan aset)," ujar Laode di Gedung KPK, Jakarta, belum lama ini.

Hingga kini, masih banyak harta milik pelaku koruptor yang tidak bisa dijangkau UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan sejak 2008-2011, jaksa yang menangani perkara korupsi rata-rata hanya menuntut 44% kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

Bahkan, angka itu kerap menyusut hingga hanya sebesar 7% ketika perkara diputus di persidangan dan berkekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde.

Selain belum ada mekanisme perampasan aset yang jelas, menurut Laode, KPK kesulitan memiskinkan para koruptor karena harta kekayaan mereka kerap disimpan di luar negeri.

Karena itu, pemerintah harus mempererat kerja sama dengan negara-negara lain agar perampasan aset koruptor bisa lebih mudah dilakukan.

"Ini juga salah satu kelemahan kita. Kita belum punya aturan yang jelas terkait dengan mutual legal assistance dalam kasus-kasus korupsi. Kerja sama bilateral dan multilateral dalam merampas aset koruptor harus diperdalam," ujar Laode lagi.

Dakwaan jaksa

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan perampasan aset hasil korupsi saat ini berpegang pada dakwaan jaksa.

UU TPPU tidak bisa dipakai dalam sejumlah perkara korupsi karena sulitnya membuktikan terjadinya pencucian uang.

"Perlu alasan konkret untuk gunakan TPPU. Harus benar-benar ada pencucian uang. Ini juga tidak bisa diterapkan pada harta yang diperoleh saat UU TPPU belum berlaku. Jadi ada batasan-batasan," ujarnya.

Sementara itu, salah satu instrumen penyitaan aset koruptor melalui pembebanan uang pengganti yang juga sebagai efek jera dikemukakan jaksa KPK Abdul Basir.

Meski karakteristik setiap perkara berbeda-beda, Basir dalam pertimbangan hukum pada setiap tuntutan selalu merdasarkan pada pembebanan uang pengganti dari hasil yang diperoleh koruptor. Pertimbangan tersebut sesuai dengan Pasal 18 UU Tipikor.

Basir tercatat merupakan bagian dari tim jaksa KPK dalam kasus korupsi mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA).

Saat itu SDA dituntut 11 tahun penjara dan uang pengganti Rp2,23 miliar atau 4 tahun penjara meski pada akhirnya hakim menjatuhkan vonis 6 tahun dan uang pengganti Rp1,8 miliar subsider 2 tahun kurungan.

Basir juga menjadi bagian yang menuntut mantan Dirjen P2KTrans Jamaluddien Malik 7 tahun penjara dan uang pengganti Rp5,41 miliar subsider 3 tahun, pada akhirnya Jamaluddien divonis 6 tahun dan uang pengganti Rp5,41 miliar subsider 1 tahun.

"Terminologinya bukan dinikmati, melainkan diperoleh, misal kalau ada orang korupsi Rp10 juta; yang Rp5 juta dibagi dan yang dinikmati Rp5 juta, tapi faktanya dia memperoleh Rp10 juta itu yang selama ini menjadi pendapat hukum saya," jelasnya.

Saat menanggapi RUU perampasan aset, Basir menyebut memang terdapat kesulitan jika aset hasil korupsi disimpan di luar negeri.

Pengembalian uang negara juga sangat dipengaruhi hubungan dengan negara yang bersangkutan.

Untuk itu, ia mendukung jika RUU tersebut mengatur perampasan aset hasil korupsi yang bernaung di luar Indonesia.

"Prinsipnya apa pun langkahnya, ketika tujuannya me-recovery kerugian negara, itu langkah baik," tukasnya. (Deo/Uta/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya