Euforia Teman dan Sahabat dalam Pilkada

Astri Novaria/P-3
28/3/2016 06:50
Euforia Teman dan Sahabat dalam Pilkada
(ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

INGAR-bingar menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun depan diwarnai fenomena unik dan menarik, yakni munculnya para teman dan sahabat bakal calon gubernur.

Mereka tidak hanya memberikan dukungan, tetapi juga bergerak bak mesin partai demi memuluskan jalan bagi bakal calon yang didukung.

Gerakan itu antara lain Teman Ahok, Sahabat Sandiaga Uno, Sahabat Adhyaksa, Sahabat Djarot, dan Suka Haji Lulung.

Dalam historiografi politik, relawan (volunteer) mulai dikembangkan pada 1755 oleh seorang Prancis, M Fr Voluntaire, ketika memberikan pelayanan kepada tentara yang sedang berperang.

Istilah relawan diambil dari bahasa Jerman, aktivismus, yang muncul pada akhir Perang Dunia I.

Istilah itu kemudian digunakan untuk menandai prinsip keterlibatan politik secara aktif oleh kaum intelektual.

Bukan hanya pemikiran, ikhtiar untuk membela serta mewujudkan pemikiran itulah yang membuatnya disebut aktivisme (Suryadi, 2014).

Menjamurnya relawan yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta memunculkan beragam reaksi.

Ada yang menilai fenomena relawan sebagai upaya deparpolisasi, tapi tidak sedikit yang menganggap relawan sebagai kekuatan rakyat yang riil.

Kekuatan itu harus diberi ruang untuk berkembang menjadi partner yang baik bagi pemerintah untuk bekerja sama bersama dengan parpol demi mencari sosok pemimpin terbaik.

Karena itu, tidak pada tempatnya bila keberadaan relawan malah dibenturkan dengan parpol.

Relawan seharusnya menjadi kawan seiring-sejalan dalam proses memilih pemimpin di semua level, termasuk calon pemimpin yang berasal dari jalur perseorangan.

Esensinya ialah sama-sama mencari calon pemimpin yang dipercaya dapat memajukan dan menyejahterakan rakyat.

Namun, jangan lupa, tantangan terhadap teman dan sahabat dalam sebuah kerja politik tentu tidaklah ringan.

Jalan politik kesukarelaan akan melewati jalur-jalur terjal karena politik selalu sarat dengan intrik.

Keikhlasan dan kesukarelaan politik akan teruji ketika calon pemimpin yang diusung berhasil menduduki tampuk kekuasaan.

Ketika itulah akan terlihat apakah para relawan benar-benar rela mengusung sang calon tanpa pamrih atau justru punya hasrat tersembunyi, seperti menuntut imbalan untuk ikut menikmati kue kekuasaan.

Jika tuntutan akan imbalan itu mengemuka di belakang hari, tentu saja akan muncul sinisme bahwa kesukarelaan sekadar simbol demi menyelubungi praktik transaksional yang sudah menjadi lumrah dalam berbagai urusan politik di negeri ini.

Selanjutnya, pemimpin yang lahir dari rahim politik kesukarelaan hendaknya terus menjaga dan merawat hubungan dengan para pendukungnya dalam bingkai kesukarelaan.

Jangan cepat lupa walaupun telah menduduki kursi kekuasaan yang biasanya akrab dengan harta dan fasilitas.

Singkirkan tradisi politik balas budi karena telah terbukti hanya menyenangkan segelintir orang yang ada di sekeliling penguasa, tetapi menyengsarakan jutaan rakyat.

Karena itu, sekali lagi, semangat kesukarelaan yang tumbuh subur di awal proses pencalonan kepala daerah, terutama terkait dengan pilkada DKI Jakarta, harus dikontrol publik agar citra positif dari gerakan itu tetap terjaga hingga akhir.

Akan menjadi sebuah malapetaka besar bila di awal mereka mengusung panji relawan, tetapi di akhir menuntut pundi-pundi balas budi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya